Opini

Kaderisasi melalui Pembiasaan

Oleh: Achmad Hilal Madjdi

Aula Muhammadiyah Kudus (dikenal masyarakat Kudus sebagai Aula) dalam bidikan mata kecil saya  dan masih tersimpan rapi dalam memori saya sampai saat ini, adalah suatu kemegahan yang melampuai jamannya pada waktu itu. Relief bertuliskan Muhammadiyah dalam huruf arab menghias teras depan, kiri dan kanan, dilandasi tembok yang disawur pecahan-pecahan kaca kecil. Sementara di bagian dalam, terdapat panggung permanen yang disorot tiga lampu besar. Di atas panggung terdapat tulisan Surat Ali Imron ayat 134 berwarna kuning emas pada kain beludru berwarna hitam dengan renda- renda keemasan pula. Suatu kemegahan yang dalam pikiran anak kecil seusia saya terasa sangat luar biasa.

Gemerlap lampu yang menyirami seluruh Aula menjadikan semua terang bagi saya. Ada beberapa nama yang disebutkan oleh Bapak saya almarhum ketika ada yang naik ke atas panggung. Bapak Abdillah Noor (alm), yang bertubuh gemuk dan tampak gagah, belakangan saya ketahui sebagai Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kudus saat itu. Bapak Zaini Supardan (alm), yang bergiat di Majlis Tablegh dan selalu menjadi pembawa acara pada pengajian- pengajian di Aula.

Ada pula Bapak Munjahid (alm), guru SD Muhammadiyah I Kudus yang selalu sibuk di setiap kegiatan pengajian termasuk ikut mengedarkan kaleng infaq. Yang masih saya ingat adalah gaya berjalannya yang sekarang terduplikasi oleh anaknya yang ke empat yang menjadi Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kudus periode muktamar ke 46 dan 47

Baca juga :  Pencegahan Stunting dan Penguatan SDM Kesehatan UMKU dan IBI Jepara

Last but not least, terkenang pula Kang Totok Zuliadi Mz, sastrawan Kudus yang selalu tampil membacakan puisi-puisinya sebelum pengajian dimulai. Tentu masih banyak yang lain yang bergiat di setiap pengajian. Mungkin beberapa nama terlarut dalam kantuk saya yang tak tertahan karena kekuatan usia kecil yang tidak mendukung untuk melek sampai larut malam.

Namun yang paling penting dalam kenangan- kenangan di atas adalah kesadaran yang menyeruak dalam alam kedewasaan saya saat ini, bahwa saya dulu dituntun Bapak untuk mengenal dan bergabung dengan para pejuang. Jika meminjam bahasa para organisatoris, Bapak sedang melakukan suatu proses kaderisasi terhadap saya saat itu. Sebagai anak kecil saya memang hanya mengikuti saja ke mana saya diajak. Tapi seiring pemahaman terhadap referensi yang saya baca, kaderisasi memang bisa dilakukan dengan cara pengenalan dan pembiasaan sejak masa anak- anak.

Proses pengenalan dan pembiasaaan memang bertumpu pada teori “behaviorisme” yang oleh Pavlov diuji cobakan pada hewan. Temuannya memang sangat spekatakuler pada masa itu, yaitu bahwa hewan yang tidak berakal ternyata bisa mengenal sesuatu yang diekspose terhadap dirinya secara berkala, sistematis dan berkelanjutan. Misal, jika setiap jam tujuh pagi kita menabuh lonceng kecil di depan pintu rumah kita dan kemudian menaburkan makanan kepada ayam yang kita pelihara, maka dapat dipastikan ayam- ayam itu akan siap di depan pintu rumah kita sekitar jam tujuh pagi.

Baca juga :  Perspektif Muhammadiyah Terhadap Isu Agraria

Teori “behaviorisme” ini lalu menjadi populer untuk pendidikan anak manusia.  Asumsinya tentu sangat sederhana, yaitu bahwa jika hewan yang tidak berakal saja bisa memperoleh “sesuatu” yang dibiasakan terhadap dirinya terus menerus, tentu anak manusia akan lebih komprehensif dan mudah memperoleh “sesuatu” dari proses pembiasaan. Maka dalam beberapa proses pendidikan agama di keluarga, terori pembiasaan juga diterapkan: membiasakan anak sholat tepat waktu, membiasakan anak sholat berjamaah di musholla/ masjid, membiasakan anak puasa Ramadlan, membaca Al Qur’an, dan lain sebagainya.

Jika akhir-akhir ini di beberapa daerah terasa betapa beratnya menumbuhkan kader penerus Muhammadiyah bahkan dari kalangan internal/ keluarga Muhammadiyah sendiri, mungkin karena proses menuntun anak-anaknya sejak dini terlewatkan dan tidak dianggap penting. Tentu penilaian di atas tidak berlaku bagi jamaah pengajian Ranting yang membawa anak-anaknya yang masih  kecil ikut pengajian.

Lalu mengapa ada yang enggan mengajak anak kecilnya ke pengajian ? Alasannya sangat klasik, yaitu bahwa mereka nanti akan bikin ramai atau ribut di musholla/ masjid. Biasanya anak- anak hanya bermain- main atau berlarian dengan teman- temannya, tidak mau mendengarkan pengajian. Toh mereka juga belum paham tentang isi pengajian. Tapi ada satu hal yang dilupakan, yaitu anak- anak memiliki kemampuan belajar dengan cara “sub conscious learning” (belajar dengan menggunakan bawah sadar). Mereka bermain, berlarian dan bahkan berteriak- teriak. Tapi sesungguhnya mereka tetap mendengar dan merekam dalam otak kecilnya, kata atau kalimat yang diucapkan orang- orang di sekitanya. Dalam terori “Psycholinguistics”, anak – anak dilengkapi oleh Allah suatu alat super kecil tapi memiliki kapasitas super besar yang ditanamkan pada otak kecilnya yang dikenal sebagai “Language Acquisition Device” (LAD).

Baca juga :  Digelar di Wonosobo, Ini Tujuan Jambore Nasional SAR Muhammadiyah

Alat yang jauh lebih kecil daripada mycrochip ini tetap bekerja dan bersinergi dengan telinga sang anak meskipun anak itu tidak secara sungguh-sungguh dan sadar mendengarkan. Itulah sebabnya mengapa kosa kata anak selalu bertambah dan berkembang secara kuantitatif dan kualitatif di luar batasan kemampuan orang tua / guru dalam mengajar kosa kata. Maka tidaklah heran jika suatu waktu anak- anak kita dapat mengatakan suatu ujaran yang mungkin tidak pernah kita ajarkan. Apalagi di era yang serba digital dan mudah serta melimpah saat ini. Segala sesuatu tersedia di depan mata, hidung, mulut dan telinga manusia.

Proses menuntun dan membiasakan anak pada kebaikan sangat perlu dilakukan, karena itulah sesungguhnya tugas orang tua.  Jadi, kaderisasi bisa dilakukan sejak dini, bahkan sejak anak dalam kandungan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *