Sam Elqudsy*
Membaca tulisan Hendra Hari Wahyudi berjudul Muktamar dan Arah Baru Gerakan Dakwah di muriamu.id beberapa waktu lalu, saya merasa tergelitik. Selain harus menginternasional, Muhammadiyah juga harus berfikir ke dalam memperhatikan nasib mereka yang bekerja di Amal Usaha Muhammadiyah. Benar sekali, jangan sampai Muhammadiyah besar di luar namun keropos di dalam. Saya hanya bisa manggut-manggut membaca tulisan itu.
Sejenak berfikir kemudian lahirlah ide tulisan ini. Bukan merupakan sebuah respon atau jawaban langsung, barangkali tulisan ini sekadar melengkapi apa yang disampaikan mas Hendra di tulisan itu.
Semangat Mendirikan Amal Usaha
Dalam banyak kasus, semangat warga Muhammadiyah ketika mendirikan Amal Usaha patut diacungi jempol. Lelang wakaf, jual aset pribadi hingga gadai sertifikat tak segan dilakukan demi mendirikan Amal Usaha Muhammadiyah. Dimana ada warga Muhammadiyah, di situ akan berdiri amal usaha.
Soal penyediaan lahan, pembangunan infrastruktur hampir tidak pernah menjadi soal. Semuanya bisa diatasi dengan model thuthukan atau crowd funding dalam bahasa kerennya. Bisa dikatakan Muhammadiyah tidak pernah gagal dalam mendirikan amal usaha. Setiap hari hampir dipastikan ada peresmian atau peletakan batu pertama pembangunan gedung baru maupun amal usaha baru oleh Pimpinan Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Tiada hari tanpa menggunting pita ataupun memukul gong.
Namun kadangkala semangat mendirikan AUM itu tidak dibarengi persiapan yang matang dalam hal sumber daya manusia. Pokoknya berdiri dulu, soal siapa dan bagaimana nanti perjalanannya dipikir belakangan.
Awalnya hal ini memang tidak menjadi masalah ketika AUM tersebut baru didirikan, masih kecil dan berada pada tahap awal. Keikhlasan para pengurus dan karyawan adalah kunci tumbuh kembang AUM.
Namun ketika sudah berkembang, menjadi AUM besar dan maju, masalah ketersediaan SDM menjadi lebih kompleks dan rumit. Kader yang profesional dan profesional yang kader adalah barang langka dan mahal, apalagi hingga mencapai puncak karir sebagai pimpinan AUM.
Masalah Sumber Daya Manusia
Muhammadiyah, dengan segenap lembaga pendidikannya dari TK hingga Universitas menghasilkan ribuan bahkan puluhan ribu lulusan di berbagai bidang. Sains, Ekonomi, Sosial, Politik hingga kesehatan semua ada jurusannya. Tapi mengapa dalam banyak kasus, di berbagai amal usaha Muhammadiyah yang ada, ketika membuka lowongan kerja, sering kesulitan mencari tenaga kerja yang berasal dari kader Muhammadiyah?
Akibatnya, banyak lowongan pekerjaan yang kemudian diisi oleh tenaga kerja non Muhammadiyah. Dokter RSMA berasal dari luar, dosen Universitas Muhammadiyah tapi tidak memahami Muhammadiyah, hingga guru Ismuba tapi praktek keagamaannya berseberangan dengan tuntunan dalam Himpunan Putusan Tarjih. Pendek kata, banyak amal usaha Muhammadiyah khaususnya yang sudah besar dan mapan karyawannya tidak sepenuh hati menjadi bagian dari keluarga besar Muhammadiyah. Ada apa dengan ini semua?
Bahkan kadangkala, di amal usaha tertentu misalnya, ada kader Muhammadiyah yang justru terpinggirkan dan tidak memperoleh tempat sebagaimana mestinya di amal usaha Muhammadiyah. Alasannya karena profesionalitas. Kader tersebut tidak memenuhi kualifikasi untuk menduduki jabatan tertentu di amal usaha. Bahkan seolah, ada kader yang kemudian seperti pepatah, ibarat tikus mati di lumbung padi. Bekerja di Amal Usaha Muhammadiyah yang besar dan bonafid, tapi tidak bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Beneran ada yang seperti ini? Haqqul yaqin, ada!
Butuh Komitmen dan Terobosan
Menutup tulisan ini, agar kader tidak seperti pepatah tikus yang mati di lumbung padi, ada beberapa tindakan afirmatif yang harus dilakukan oleh pihak amal usaha untuk memberikan kesempatan bagi kader agar menjadi leader di amal usaha.
Agar AUM menjadi besar dan berkembang serta tetap selaras dengan jati diri persyarikatan diperlukan kader yang profesional dan profesional yang kader. Mewajibkan karyawan untuk membayar ZIS di Lazismu tidak seratus persen menjadikan hati karyawan condong kepada Muhammadiyah.
Mensyaratkan rekomendasi aktif di persyarikatan dari pimpinan ranting domisili calon karyawan tidak sepenuhnya menjadi solusi bahwa karyawan tersebut adalah seorang kader. Dibutuhkan terobosan lebih dari sekadar syarat formalitas semacam itu.
Terobosan yang dilakukan dr Hasan Bayuni di RS PKU Muhammadiyah Sruweng misalnya, patut dijadikan role model. Menyadari banyak pos di RS yang dipimpinnya tidak diisi oleh kader Muhammadiyah, direktur muda ini memberikan program beasiswa kepada kader Organisasi Otonom Muhammadiyah di Kebumen untuk kuliah pada jurusan tertentu yang sesuai dengan kebutuhan rumah sakit dengan kesepakatan bahwa nanti ketika lulus, penerima beasiswa akan kembali ke PKU Sruweng untuk mengabdi dan mengisi posisi yang sudah ditentukan sejak awal.
Maka, pemetaan kebutuhan SDM adalah kunci menyiapkan karyawan dan pemimpin AUM yang seratus persen loyal pada persyarikatan. Siapa yang bisa melakukan itu? Tentu saja jika bicara pada konteks AUM adalah pimpinan AUM dan BPH yang menjabat saat ini. Saatnya BPH memainkan peran lebih dari sekadar pelengkap struktur organisasi Amal Usaha MUHAMMADIYAH. Ya, Muhammadiyah yang ditulis dengan huruf kapital.
Penulis adalah Redaktur Muriamu.id