Oleh: Ahmad Faozan
Kemeriahan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-77 di Istana Negara Kepresidenan sangat terasa. Karena Istana Negara sebagai simbol kesakralan momen spesial kemerdekaan, sehingga persiapannya hingga berbulan-bulan. Momen hari pelaksanaan, menjadi hari yang sangat dinanti. Sejak dulu hingga sekarang pasukan pengibar menjadi sorotan masyarakat secara luas. Mereka sebagian besar adalah anak-anak SMA pilihan terbaik dari provinsinya.
Terlihat pada dimulainya pengibaran bendera, mereka dengan seragam yang tak lepas dari dominan putih. Hentakan langkah berjalannya sedemikian rupa dikomando lewat komandan khusus pengibar bendera dengan penuh serius, fokus, tegas dan padu. Hal ini memunculkan perhatian oleh masyarakat seantero nusantara peserta tak kecuali di istana dan penonton pun ikut larut haru.
Keharuan peserta upacara “sirna” sesaat penampilan Farel Prayogo. Kondisi yang semula sarat hitmat mengikuti upacara, pecah sesaat usainya acara sakral pengibaran bendera sang merah putih. Luapan kegembiraan tak terbendung dengan iringan lagu viral khas berbahasa Jawa “Ojo dibandingke” karena menjadi lagu yang seakan “melupakan sejenak” PR-PR besar kenegaraan. Semua undangan khusus tak terkecuali tamu Kepresidenan pun ikut berdendang hingga terbawa ikut larut berjoget ria.
Namun tulisan ini bukan bermaksud untuk “memanas-manasi” suasana. Hanya untuk mengajak kembali berfikir ulang tentang nilai penting dalam mengendapkan sebuah momentum besar Peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-77.
Ternyata Farel adalah salah satu dari sekian puluh juta anak-anak yang memiliki talenta dalam hal tarik suara. Maklum karena ia adalah pengamen. Betul sekali sebagai langkah mengapresiasi dan pemberdayaan kepadanya. Ketika kita “eksploitasi” suaranya yang merdu dengan dendangan iringan lagu yang pas untuk melengkapinya dengan joget. Barangkali tidak tepat lah.
Barangkali coretan ini sekedar kritis seorang pendidik kampung yang kurang berlogika secara pas. Coba dilihat dan dirasakan bersama, lirik-lirik lagu dengan tema yang seperti itu tepatnya dinyanyikan oleh orang-orang dewasa.
Ternyata memang sudah menjadi hal yang umum dan mereka sebagian besar menganggap sah-sah saja acara-acara formal yang dirancang sedemikian rupa dan sakral penuh dengan hitmat, lalu spontan menghilang kehitmatannya sesaat setelah para peserta disuatu momen acara mengikuti alur acara berupa hiburan. Barangkali bolehlah. Ini pun pandangan yang subyektif, ranahnya dapat menjadi debateble. Namun alangkah bijaksananya kalau hiburan terkemas dengan nuansa yang sarat dengan kesantunan, bukan fulgar.
Seakan apa saja kegiatan yang formal “harus” berbalut hiburan dan tanpa canggung dengan berjoget ria. Hiburan seperti selingan acara yang “wajib” ada. Dapat dilihat, seperti sudah menjadi hal yang biasa.
Sebagaimana dalam sebuah berita hangat, pasukan pengibar bendera yang berjoget begitu fulgar di lapangan sesaat setelah mengibarkan bendera. Dapat kita bayangkan, disaat pasukan upacara begitu hitmat hormat kepada bendera sang merah putih. Belum begitu lama merasakan kehitmatan upacara, mereka lepas kendali bergoyang tak seronoh.
Anggapan sebagian besar para ASN atau pekerja formal dikantor-kantor, maupun dimana ia merasakan saat-saat ini. Refreshing dan hiburan menjadi jalan alternatif mengurangi kepenatan dalam pikiran. Dalam hal ini hiburan dan refreshing memang perlu dan penting. Proporsional dan kesantunan perlu di kedepankan agar tidak merusak nilai penting dalam sebuah momen.
Peserta #KopdarMuriamu