Oleh : Mochammad Rindho Nugroho
Sebagai sebuah entitas, Desa menempati posisi terpenting dalam sistem pemerintahan di Republik ini. Desa menempati struktur terendah dalam hirarki pemerintahan namun disisi lain Desa menjadi ujung tombak bagi keberhasilan program-program dari Supradesa. Desa menjadi hilir bagi pelaksanaan kebijakan namun Desa juga menjadi hulu atas masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Kemiskinan, kesenjangan, rendahnya kualitas sarana prasarana hingga sumber daya manusia seolah-olah berasal dari Desa. Padahal alokasi dana desa dari tahun ke tahun selalu meningkat. Tak kurang dari 68 Trilyun Rupiah dialokasikan untuk 74.960 Desa pada tahun 2023. Lantas untuk apa saja anggaran sedemikian itu digunakan?
Sebagai perpanjangan tangan Negara di level terendah dalam sistem politik negeri ini, Desa memiliki tugas yang tidak mudah. Sesuai amanat konstitusi, Desa memiliki tugas untuk menyelenggarakan pemerintahan, menyelenggarakan pembangunan, melakukan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat, dst. Muara dari semua tugas yang diemban Desa adalah meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Delegasi tanggung jawab ini menjadi persimpangan jalan manakala Pemerintah Desa tidak memiliki integritas dan komitemen dalam mengemban amanah yang berada dipundak mereka.
Untuk memastikan amanah tersebut berjalan dalam koridor yang semestinya diperlukan pengawasan oleh berbagai pihak, baik melalui lembaga Desa seperti BPD maupun oleh masyarakat sipil. Selain mengawasi jalanya pemerintahan desa, masyarakat sipil juga dapat terlibat dalam proses perencanaan pembangunan melalui mekanisme yang ada. Masyarakat juga dapat terlibat dalam pelaksanaan pembangunan yang telah direncanakan. Keterlibatan (partisipasi) menjadi kata kunci dalam memastikan bahwa Pemerintah Desa telah melaksanakan amanat konstitusi sesuai koridor yang berlaku demi mewujudkan cita-cita pembangunan desa.
Mengawal Pembangunan Desa
Muhammadiyah sebagai bagian dari masyarakat sipil (Civil Society) memiliki posisi strategis untuk mengawal isu pembangunan di Desa. Sebagaimana telah diulas di awal tulisan, Desa dianggap memiliki sumber masalah yang ada pada masyarakat. Alih-alih memberikan delegasi kekuasaan untuk mengatasi masalahnya sendiri, Pemerintah Desa acap kali terjebak pada dinamika kekuasaan aktor elite Desa. Kondisi yang demikian tentunya memerlukan perhatian serius agar masyarakat desa tidak semakin menjadi korban.
Dalam setiap konflik yang terjadi diantara elite, baik antar elite di desa maupun antara elit desa dengan supradesa, masyarakat desa selalu menjadi korban karena struktur sosiologisnya. Baik secara ekonomi, pendidikan maupun politik, masyarakat desa tidak memiliki posisi yang kuat dalam menentukan arah kebijakan yang dibuat oleh elite desa. Oleh karena itu, Muhammadiyah secara organisasi maupun secara individu (Selaku Tokoh Masyarakat) dapat menjadi jembatan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat desa dalam forum/ruang publik yang tersedia di Desa. Muhammadiyah memiliki daya tawar untuk memastikan bahwa program pembangunan yang dilakukan di Desa setidaknya telah mengakomodasi kepentingan kelompok rentan dan marginal. Inilah tawaran dakwah Muhammadiyah yang baru, yaitu Jihad Pembangunan.
Selain menjadi penghubung antara masyarakat dengan elite desa, Muhammadiyah juga dapat mendorong untuk terbukanya ruang-ruang publik yang mungkin selama ini buntu. Adanya ruang publik diharapkan menjadi arena bagi pertemuan gagasan untuk menemukan konsensus dalam membangun kesejahteraan bersama. Selain itu, terbukanya ruang antar aktor dalam masyarakat diharapkan dapat dibarengi dengan keterbukaan informasi untuk mendorong partisipasi masyarakat. Dengan demikian, usaha mewujudkan cita-cita pembangunan desa akan semakin dekat. Pembangunan yang tidak menyertakan partisipasi masyarakat, dapat dipastikan tidak berdasarkan kebutuhan masyarakat namun hanya ambisi dari aktor elite desa.
Tidak hanya mendorong masyarakatnya untuk terlibat, Muhammadiyah secara organisasi (baik melalui Majlis, Lembaga, Ortom maupun AUM) juga dapat melibatkan diri melalui program yang dimiliki. Muhammadiyah dapat melakukan cross cutting issues untuk membangun kerjasama dengan Pemerintah Desa dalam menyelesaikan masalah yang dialami masyarakat. Muhammadiyah dapat membantu Desa dalam melakukan pemetaan dan penelusuran akar masalah untuk mencari solusi bersama.
Dalam hal pelaksanaan program pembangunan desa, Muhammadiyah dapat menjadi pengawas agar Desa melaksanakan Anggaran yang diperoleh sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Seluruh rencana pembangunan desa dapat dilihat dalam dokumen RPJMDes, RPKDes maupun APBDes. Prioritas Penggunaan Dana Desa untuk tahun 2023 sebagaimana diatur dalam Peraturan Kementerian Desa dan PDTT difokuskan untuk pemulihan ekonomi, peningkatan sumber daya manusia dan percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem. Setidaknya ada 14 program prioritas diantaranya: pencegahan dan penurunan stunting, perluasan akses kesehatan sesuai kewenangan desa, dan mitigasi dan penanganan bencana alam dan non alam.
Muhammadiyah memang seringkali dianggap sebagai “pembantu” bagi jalannya Pemerintahan. Meskipun demikian, apabila Muhammadiyah mau secara konsisten mengawal jalannya Pemerintahan Desa agar berjalan sesuai koridornya demi kesejahteraan masyarakat desa, maka itulah jalan jihad yang harus diambil. Jangan sampai amanat kosntitusi dan gelontoran dana yang telah disuntikkan demi kesejahteraan masyarakat menjadi “bancakan” dan pembangunan yang tidak bermanfaat oleh elite desa yang tidak berintegritas.
Menuju MUSYDA Muhammadiyah Kudus Periode Muktamar ke-47 ini, tentu kita semua berharap bahwa akan muncul gagasan dan gerakan yang progresif terutama pada tataran Desa baik oleh PDM, PRM, AUM bahkan Ortom dan Kader. Sebagaimana kutipan Moh. Hatta “Indonesia tidak akan bercahya karena obor besar di Jakarta, tetapi Indonesia baru akan bercahaya dengan lilin-lilin di Desa”. Desa dapat menjadi basis gerakan Muhammadiyah di akar rumput secara aksi melalui lilin-lilin yang dinyalakan dengan semangat amar ma’ruf nahi mungkar.