( Refleksi Negara Pancasila )
Oleh Dr H AM Juma’I,SE.MM
Dosen Unimus
Keberagaman dan perbedaan bagi orang yang otoriter dan ‘orang zaman dahulu’ adalah suatu awal dari kehancuran dan konflik, namun tidak bagi manusia yang moderen dan progressif. Justru hal tersebut adalah suatu awal kemajuan dan perkembangan bagi manusia-manusia yang berakal. Kemajuan yang dilandasi dengan sebuah perbedaan akan lebih kuat jika dibanding dengan kemajuan yang dilandasi persamaan yang cenderung menuju statis dan monoton. Perbedaan yang dianggap sebagai pemicu kehancuran jka dianalisis dan dimenej dengan bagus akan menjadi suatu kekuatan yang besar yang takkan terkalahkan. Hal ini sering disebut dengan ‘Management of Conflict’.
Dengan demikian akan lahir satu kubu oposan yang mengevaluasi kinerja pihak lain sekaligus menjadi kubu penengah (ummatan wasatan) sebagai tim pendingin dan manejerial suatu konflik. Bukankah Nabi Muhammad juga sebagai oposan dan penengah atas konflik yang terjadi pada suku Arab?.
‘Ikhtilafu Ummati Rahma’ (perbedaan adalah rahmat), itulah sabda rasul yang sudah masyhur di telinga kaum muslimin. Terlepas dari sahih tidaknya hadis ini, namun jika ditinjau dari konten hadis memang sangat faktual dan logis. Jika diilustrasikan perbedaan dengan lukisan, maka sekiranya sebuah lukisan berwarna putih semua, atau hijau semua apakah akan tampak keindahan ?. Tangan yang beranggotakan lima Jari dan berbeda bentuk dan panjang, apakah kelima jari saling menyalahkan ?.
Bagaimanakah bunyi petikan suara gitar jikalau semua jenis talinya sama?. Besar dugaan bahwa hadis ini menjadi dasar pemikiran bagi orang-orang Western dalam menciptakan teori-teori manajemen konflik yang banyak dipelajari dalam menejerial.
Idul Fitri beda
Dalam menetapkan awal Syawal atau Idul Fitri, ulama berbeda pendapat. Pertama, ada ulama menyatakan bahwa awal Idul Fitri maupun Ramadhan hanya bisa ditetapkan dengan menggunakan metode rukyat (observasi/mengamati hilal) atau istikmal, yaitu menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
Kedua, ulama lainnya, menyatakan bahwa awal puasa maupun Idul Fitri dapat ditetapkan dengan metode hisab (perhitungan untuk menentukan posisi hilal).
Thomas mengatakan perbedaan penentuan Idul Fitri terjadi bukan karena metode hisab dan rukyat melainkan perbedaan kriteria yang dipedomani oleh tiap-tiap organisasi Islam, termasuk pemerintah.
Kriteria wujudul hilal digunakan Muhammadiyah, sedangkan kriteria imkan rukyat (visibilitas hilal) digunakan oleh Nahdlatul Ulama dan beberapa organisasi keagamaan lain di Indonesia.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, metode hisab wujudul hilal digunakan oleh Muhammadiyah untuk menetapkan Hari Raya Idul Fitri. Muhammadiyah dengan metode hisab wujudul hilal dapat menetapkan puluhan tahun ke depan kapan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha terjadi,”
Adapun keputusan penetapan Hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriah itu termaktub dalam Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 1/MLM/1.0E/2023 tentang Penetaan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah 1444 H. “Tanggal 1 Syawal 1444 H jatuh pada hari Jumat Pahing, 21 April 2023 M.
Dapat dipahami bahwa Metode hisab menggunakan perhitungan matematika untuk menentukan awal bulan, hal ini dilakukan oleh Muhammadiyah.
Sementara metode rukyat mengandalkan pengamatan langsung hilal atau bulan sabit. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.
Karena perbedaan metode ini, terkadang tanggal Idul Fitri bisa berbeda di antara negara atau daerah yang menggunakan metode yang berbeda, atau pendapat satu kelompok dengan lainnya, seperti yang terjadi dengan Muhammadiyah dan Pemerintah Indonesia.
Namun, perbedaan tanggal tersebut tidak mengurangi makna penting dari perayaan Idul Fitri itu sendiri.
Dinamika Perbedaan Idul Fitri 1444 H
Di Indonesia kita sudah terbiasa mengalami perbedaan awal puasa atau penetapan idul Fitri ataupun idul adha namun tidak ada gejolak baik secara horisontal maupun vertikal , namun tahun 2023 yang siap menghadapi tahun 2024 ini mengapa perbedaan ini digoreng sedemikian rupa seolah-olah Muhammadiyah adalah tersangka yang berseberangan dengan Pemerintah, sehingga sampai kepala daerah melarang penggunaan fasilitas umum untuk pelaksanaan sholat idul Fitri.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menanggapi larangan penggunaan fasilitas publik untuk jamaah Muhammadiyah yang melaksanakan salat Idul Fitri pada 21 April 2023. Dalam sistem negara Pancasila, sedianya pemerintah tidak punya kewenangan mengatur wilayah ibadah mahdlah seperti awal Ramadan, Idul Fitri, maupun Idul Adha. Dia menyebut pemerintah sebagai penyelenggara negara justru berkewajiban menjamin kebebasan warganya untuk beribadah sesuai agama dan keyakinannya.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nasir, mengatakan, negara harus hadir menjadi pihak yang adil dan ihsan dalam memandang dan memberikan fasilitas jika terjadi perbedaan waktu Hari Raya Lebaran Idul Fitri 2023 di Indonesia. Lebaran Idul fitri boleh berbeda, tetapi kita bisa bersama merayakan dan melaksanakannya. Kalau besok ada perbedaan itu adalah hal yang lumrah karena ini soal ijtihad, sampai nanti kita bersepakat ada kalender Islam global,”.
Terkait dengan permintaan Muhammadiyah di salah satu daerah untuk izin penggunaan fasilitas negara sebagai tempat Salat Id, Haedar mengatakan itu bukan karena Muhammadiyah tidak memiliki fasilitas sendiri, tapi Muhammadiyah ingin menegaskan bahwa fasilitas negara adalah milik seluruh golongan dan rakyat.
Sehingga tidak ada istilah anak tiri dan anak kesayangan dalam melaksanakan kehidupan berbagsa dan berbegara di negara Pancasila ini.
Bung Karno menyatakan bahwa Indonesia bukan milik satu orang, satu golongan, hanya golongan bangsawan saja, tapi Indonesia milik semua untuk semua.
Negara Menjunjung Tinggi Toleransi
Sikap toleransi sangatlah penting sebagai alat pemersatu bangsa. Tanpa adanya toleransi kehidupan yang penuh dengan kemajemukan dan perbedaan ini tidak akan pernah bersatu. Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kemanjemukan yang cukup tinggi. Suku, budaya yang cukup beragam dan bahasa daerah yang cukup banyak, maka sangat dibutuhkan sikap toleransi yang diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di dalamnya. Setiap orang harus saling mengerti dan memahami akan arti perbedaan.
Namun fenomena yang terjadi akhir-akhir ini masih banyak terjadi gejolak sosial yang timbul dari akibat kurang bisa menegakkan sikap toleransi, khususnya sikap toleransi antarumat beragama. Toleransi merupakan bagian dari visi teologi islam sejatinya harus dikaji secara mendalam dan diaplikasikan dalam kehidupan beragama karena ia adalah suatu keniscayaan sosial bagi seluruh umat beragama dan merupakan jalan bagi terciptanya kerukunan antarumat beragama.
Sehingga perbedaan penetapan idul Fitri 1444 H adalah suatu hal yang wajar dan harus disikapi secara dewasa; serta toleransi terhadap perbedaan harus dikedepankan. Sehingga tidak ada anak kesayangan dan anak tiri di negeri tercinta ini.
AM.JUMA’I ( Dosen FE Unimus dan Ketua LDK PWM Jawa Tengah )