Oleh Bonnix Hedy Maulana
Undang-undang Kesehatan telah disahkan 11 Juli 2023 lalu, walau dalam pengesahannya masih penuh dengan polemik di stakeholder kesehatan. Salah satu bahasan penting dalam UU Kesehatan adalah tidak ada klausul khusus terkait dengan mandatory spending untuk Kesehatan. Padahal besaran anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji sebagaimana tertera di aturan sebelumnya yaitu UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Perspektif dalam konsep anggaran berbasis kinerja, keberadaan mandatory spending bisa menjadi bertentangan dengan kinerja jika dalam penganggarannya tidak menarget capaian kinerja yang akan dicapai. Jadi hanya mengutamakan capaian jumlah besaran anggaran. Tanpa mengusulkan capaian kinerja tertentu, mandatory spending akan menjadi sia-sia bahkan tidak terserap.
Penghapusan Mandatory spending ini membuka beberapa peluang untuk memastikan target kinerja bidang Kesehatan yang akan disasar sesuai dengan tahapannya. Kedua adalah memastikan kemampuan pemerintah pusat dan daerah dalam disbursement anggaran Kesehatan di daerahnya secara baik. Realisasi anggaran diharapkan akan berkualitas dan tidak terjadi selisih lebih anggaran. Ketiga adalah percepatan Standar Pemenuhan Minimal (SPM) bidang Kesehatan bisa sebagai bagian untuk perbaikan Kesehatan di daerah. Keempat kegiatan yang berada di luar SPM juga bisa diterjemahkan lebih operasional agar dapat mendukung perbaikan system Kesehatan.
Untuk tantangan yang akan dihadapi oleh pemerintah adalah perbaikan perencanaan bidang Kesehatan agar berkinerja tinggi dan bukan sekedar realisasi anggaran. Peningkatan perbaikan perencanaan bidang Kesehatan akan menjadi pekerjaan besar bagi OPD bidang Kesehatan dan Kementerian Kesehatan. Beberapa tantangan yang akan muncul seperti:
· Kemampuan perencana di bidang Kesehatan yang kompeten terutama di daerah dan adanya kebijakan atura secara harmonis.
· Memastikan progress alokasi anggaran Kesehatan semakin berkualitas dan berorientasi pada outcome
· Kemampuan pengelolaan data dan system informasi Kesehatan untuk dijadikan bahan perencanaan berbasis bukti.
· Struktur dan organisasi di bidang Kesehatan yang lebih agile dalam merespon perubahan dilapangan terutama daerah-daerah jauh.
· Adanya peta jalan perencanaan Kesehatan bagi daerah yang tidak kaku, terukur dan menyesuaikan kondisi daerah.
· Pelaksanaan monev Kesehatan yang lebih terpadu dan ringkas
Terlepas dari polemik yang ada, upaya mencapai pelayanan Kesehatan yang semakin baik hendaklah menjadi concern utama bagi semua pihak dalam memastikan pelayanan Kesehatan masyarakat. Penghilangan mandatory spending di bidang Kesehatan, maka pemerintah daerah bisa lebih berfokus pada perencanaan yang money follow program.
*Penulis adalah Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PDM Kudus