Oleh : Nuruz Zaman*
Sekira tahun 619 Masehi, Muhammad S.A.W mengalami kedukaan luar biasa. Khadijah, Istri tercinta sekaligus mentornya wafat. Khadijah adalah sosok sentral yang menguatkan mental dan finansial Muhammad selama masa awal kenabian. Khadijah meyakinkan bahwa “bisikan” yang diterima selama ini adalah wahyu dari Allah dan bukan tipu daya syaithan. Bahkan seluruh hartanya habis untuk membantu mendukung perjuangan suaminya, terutama memberi makan umat Islam yang kelaparan pada masa pemboikotan selama tiga tahun di Makkah. Khadijah yang dijuluki Ummul Mukminin meninggal dunia pada usia sekitar 65 tahun, sementara usia Nabi Muhammad waktu itu sekitar 50 tahun.
Belum hilang duka akibat kepergian Khadijah, cucu kesayangan Abdul Muthalib kembali dihunjam nestapa. Abu Thalib, paman sekaligus pelindungnya juga meninggal dunia. Selain sebagai paman, Abu Thalib yang merupakan pemimpin Bani Hasyim adalah dekengan dan tameng Muhammad sehingga bisa terus berdakwah dan melalui masa-masa sulit selama pemboikotan. Pada masa itu, pengakuan dan perlindungan dari pemimpin Kabilah adalah salah satu faktor penting yang menentukan posisi seseorang dalam masyarakat Arab.
Dua penyokong utama Rasulullah telah berpulang hingga lengkap sudah kesendiriannya. Dalam Tarikh Islam, tahun itu dikenal sebagai ‘Amul Huzni atau tahun duka cita.
Tiga Perjalanan Utama Rasulullah Pasca ‘Amul Huzni
Selepas mangkatnya Abu Thalib, pemimpin Bani Hasyim berikutnya yakni Abu Jahal hanya memberikan perlindungan sekadarnya saja hingga posisi Muhammad dan agama Islam yang baru seumur jagung benar-benar di ujung tanduk. Rasulullah tidaklah berdiam diri menghadapi situasi tersebut, beliau melakukan sejumlah Langkah taktis dan strategis untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Selepas ‘Amul Huzni tahun 619 M hingga Hijrah pada tahun 622 M, Rasulullah melakukan banyak perjalanan, baik yang bersifat fisik atau ruhani. Tiga perjalanan utama yang bisa disebut yaitu Perjalanan ke Thaif, Isra’ Mi’raj dan Hijrah.
Perjalanan Ke Thaif
Menyadari kondisi yang semakin terjepit di Makkah, Rasulullah mencoba “mengubah” Haluan dakwah dengan bergerak ke kabilah lain di sekitar Makkah, termasuk melakukan perjalanan sejauh 100 km ke Thaif. Bukannya diterima dengan tangan terbuka, ajakan tauhid untuk menyembah Allah yang Esa justru ditolak mentah-mentah. Nabi Muhammad bahkan diusir dari Thaif dengan cara dilempari batu hingga jubahnya berlumuran darah.
Perjalanan ke Thaif adalah perjalanan pilu yang sampai membuat malaikat Jibril tidak terima kekasih Allah dinista sedimikian rupa. Dikisahkan para malaikat bersedia menghancurkan kaum Thaif seandainya Rasulullah menghendakinya. Kali ini mental Muhammad benar-benar berada pada titik nadir. Dalam kepasrahan total, Muhammad mengadu kepada Allah dalam sebuah doa.
“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, ketidakberdayaanku dan kehinaanku di hadapan manusia. Wahai yang Maha Pengasih di antara yang mengasihi! Engkau Tuhan orang-orang yang lemah dan Engkau adalah Tuhanku. Kepada siapakah Engkau hendak menyerahkan diriku? Kepada orang-orang asing bermuka masam terhadapku atau kepada musuh yang Engkau takdirkan akan mengalahkanku? Hal itu tidak aku risaukan, jika engkau tidak murka kepadaku. Namun, Rahmat-Mu bagiku amat luas. Aku menyerahkan diri pada Cahaya-Mu yang menerangi segala kegelapan serta menetukan kebaikan urusan dunia dan akhirat. Aku berlindung dari murka-Mu. Aku senantiasa mohon Ridha-Mu karena tidak ada daya dan kekuatan kecuali atas perkenan-Mu.”
Setelah beristirahat sejenak dan situasi cukup tenang pasca kegagalan misi Thaif, Muhammad berusaha masuk kembali ke kota Makkah. Dengan perlindungan Bani Nawfal Muhammad berhasil masuk ke kota Makkah. Ummi Hani’, saudara Ali dan Ja’far putra Abu Thalib, mengundang beliau untuk menginap di rumahnya dan Rasulullah menerima undangan tersebut.
Isra’ Mi’raj
Pada suatu malam saat masih menginap di rumah Ummi Hani’, Rasulullah berkunjung ke Ka’bah dan leyeh-leyeh di salah satu sudutnya. Dalam suasana antara tidur dan terjaga, sosok Jibril datang menjemput Rasulullah untuk melakukan perjalanan horizontal menempuh jarak ribuan kilometer dari Makkah ke Yerusalem dan perjalanan vertical sejauh jutaan bahkan mungkin milyaran kilometer dari Masjid Al Aqsha ke Sidratil Muntaha dalam satu malam saja. Isra’ dan Mi’raj dengan segala kisah dan hikmah yang mengiringinya adalah salah satu Mukjizat terbesar Nabi Muhammad yang menegaskan keistimewaannya di sisi Allah S.W.T.
Isra’ Mi’raj menjadi pelipur lara dan hadiah healing dari Allah untuk kekasih tercinta-Nya, Muhammad. Kisah yang menjadi ujian keimanan umat Islam. Sebuah perjalanan yang mustahil dan tidak masuk akal, bahkan jika didekati dengan pendekatan sains tercanggih sekalipun. Disana hanya ada kemungkinan-kemungkinan teori dan pendekatan, namun tidak ada yang berani memberi kepastian. Perjalanan yang hanya bisa diterima dengan keimanan sebagaimana Abu Bakar yang meraih julukan Ash Shiddiq karena selalu membenarkan apa yang disampaikan Rasulullah.
Perjalanan Hijrah ke Yatsrib
Titik balik perjuangan dakwah Rasulullah adalah Hijrah pada tahun 622 M. Sebuah keputusan yang mengubah sejarah peradaban dunia. Islam yang tadinya agama kaum tertindas dan teraniaya di negeri Makkah, yang terus digencet sedemikian rupa namun pengikutnya tetap bertahan, bahkan meluas. Hingga akhirnya setelah fondasi keimanan menghunjam kuat dan tumbuh pengikut militant, Allah memerintahkan untuk berhijrah, berpindah dari Makkah ke Yatsrib dan menjemput kemenangan hingga akhirnya bisa menaklukkan Makkah dengan penuh kedamaian. Bahkan oleh Michael Hart, seorang Jewish penulis buku legendaris “The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History” Muhammad ditahbiskan sebagai manusia paling berpengaruh dalam sejarah peradaban dunia.
Hikmah Bagi Pejuang Dakwah
Kadangkala dalam berdakwah, termasuk melalui persyarikatan Muhammadiyah, kita juga akan menemui situasi sulit, seluruh jalan seolah tertutup dan tidak menemukan solusi atas persoalan yang dihadapi. Pengajian yang tidak lagi semarak, amal usaha yang stagnan dan sulit berkembang, hingga adanya tantangan dan tekanan dari berbagai pihak luar yang seolah tak mampu kita selesaikan.
Dalam situasi demikian kita harus mengingat kembali mukjizat Isra’ Mi’raj beserta seluruh rangkaian peristiwa sebelum dan sesudahnya, sebuah keajaiban yang mengubah kelemahan menjadi kekuatan, kemustahilan menjadi kenyataan dan kegagalan menjadi keberhasilan.
Dari kisah perjalanan Rasulullah pasca ‘Amul Huzni setidaknya ada tiga pelajaran yang dapat kita petik sebagai pengikut Rasulullah, khususnya yang berjuang melalui persyarikatan Muhammadiyah.
Pertama, Ketika mengalami situasi sulit, kita tidak boleh terpaku pada satu titik bahkan menyerah, kita diwajibkan berikhtiar mencari peluang baru dan melihat segala kemungkinan yang ada. Saat ditekan di Makkah, Rasulullah mencari peluang ke Thaif yang jaraknya 100 kilometer dari Makkah dan mencoba berdakwah disana. Meskipun akhirnya gagal dan bahkan diusir dengan dihujani batu, namun Rasulullah tidak menyerah.
Kedua, senantiasa Husnuzhan kepada ketetapan Allah. Dalam situasi gagal dan putus asa dari Thaif, Rasulullah memiliki opsi melampiaskan amarah kepada penduduk Thaif sebagaimana ditawarkan malaikat Jibril, namun Rasulullah tidak mengedepankan emosi atau amarah dan tetap husnuzhan terhadap segala ketetapan Allah. Alih-alih menyetujui malaikat untuk memporak porandakan Thaif, Rasulullah justru menyerahkan nasibnya dalam sebuah doa yang penuh kepasrahan kepada Allah.
Ketiga, tidak egois dan senantiasa mengedepankan kemaslahatan umat. Pada saat Isra’ Mi’raj Rasulullah telah mencapai kenikmatan hakiki seorang makhluk yaitu berjumpa dengan Sang Khalik. Selepas mencapai kenikmatan hakiki, Rasulullah tidak berpuas diri namun justru kembali ke dunia, meniti kembali perjalanan dakwahnya dan melanjutkan misi menyempurnakan akhlak mulia.
Bagaimana dengan kita yang mengaku sebagai pengikut ajaran Rasulullah, masihkah kita merasa lemah dan berputus asa ketika menemukan tantangan dalam berdakwah ataukah senantiasa yakin dan memegang teguh kalimat penutup khas Muhammadiyah: Nashrun minallah wa fathun qariib? Wallahu A’lam.
*Penulis adalah Wakil Ketua PDM Kudus