Opini

Hidup-Hidupilah Muhammadiyah

Oleh: Achmad Hilal Madjdi

Gaung sesanti KH Achmad Dahlan “hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah” terus menggema dalam kekuatan frekwensi yang tak terukur. Artinya, bagi aktivis Muhammadiyah, wasiat Sang Pencerah ini nyaris menjadi salah satu pasal dalam undang-undang bermuhammadiyah, meskipun terkadang perlu pemaknaan yang lebih kontekstual karena memang situasi  dan kondisi ketika wasiat itu disampaikan  sangat berbeda dengan kekinian.

Para Pimpinan persyarikatan dari semua tingkatan (mulai Pimpinan Ranting sampai Pimpinan Pusat) memang tak bergaji dan berhonor dalam mengemban amanat. Tapi seiring kemajuan negeri tercinta, mereka tak lagi berjalan kaki atau naik sepeda ontel (meskipun di beberapa daerah mungkin masih ada) dalam melaksanakan aktivitas Persyarikatan. Namun tak ada fasilitas- fasilitas atau akomodasi lebih yang diterima karena selama ini memang yang diterima sekedar standar atau cukup atau bahkan mungkin bisa disebut tak layak. Pernah, dalam suatu Musyawarah Pimpinan Wilayah (setingkat Propinsi), para utusan ini tidur di ruang- ruang kelas dengan gelaran tikar dan bantal seadanya. Urusan mandi pun di kamar mandi sekolah yang ditempati, yang biasa dipakai para siswa sehari- hari. Dan jangan bertanya soal makanan karena bagi Pimpinan Muhammadiyah, makanan itu sekedar sarat agar perutnya tidak kosong. Soal menu dan kualitas gizi janganlah dibandingkan dengan makanan hotel berbintang tiga sekalipun.

Baca juga :  Ketika Kita Bersaksi Tiada Tuhan Selain Allah

Namun demikian tak ada yang protes dan tak ada pula yang tidak tersenyum gembira. Wajah- wajah para pimpinan Persyarikatan peserta Musyawarah Pimpinan ini demikian sumringah mengumbar aura syukur yang tak terhingga. Kesadaran tertinggi akan keridloan Allah menjadi tumpuan berpijak yang kadang tak bisa dipahami oleh yang tidak pernah berorganisasi. Apa sih sebenarnya yang dicari ? Dan para pimpinan itu mendapatkan apa ?

Jika tuturan ini diperlebar sampai ke anggota Persyarikatan, dinamika yang terekam akan menjadi semakin kompleks dan sulit dipahami bagi mereka yang orientasi hidupnya masih di seputar mencari dan memilki atau menggenggam dunia. Suatu Pimpinan Ranting bisa saja hanya memilki anggota dua atau tiga Kepala keluarga. Tapi di sana bisa saja berdiri sebuah Musholla yang secara efektif bisa digunakan untuk sholat berjamaah dan mengaji. Lantas bagaimana dan dari mana Ranting kecil itu membangun musholla ? Jawabannya tentu sudah bisa ditebak, yaitu bahwa mereka menggerakkan semua sendi kehidupannya habis- habisan sehingga program Persyarikatan berjalan nyaris tanpa kesulitan. Salah satu sendi yang digerakkan adalah para aghniya’ yang mau mewakafkan hartanya atau meminjami (baca menghutangi) yang pada akhirnya nanti juga mewakafkan karena pimpinan Ranting mengalami kesulitan mengangsur pinjaman.

Baca juga :  Bukan Kader Karbitan, Tapi Kader Ikatan

Tak jarang pula ada Pimpinan yang menyerahkan sertifikat tanah, rumah atau sawah serta BPKB mobil dan sepeda motornya untuk jaminan Bank. Apakah kemudian harta berharga itu bisa kembali ? Alhamdulillah selama ini tidak ada catatan buruk tentang kredit macet yang dilakukan para pimpinan Persyarikatan dalam mengelola dan mengembangkan amal usaha persyarikatan. Kalau toh asset- asset itu tak kembali, itu karena biasanya asset itu pada akhirnya diwakafkan setelah  urusan perbankan selesai.

Irama dan dinamika itu juga diikuti oleh para guru, karyawan, dokter, perawat, bidan dan pegawai- pegawai di lingkungan amal usaha persyarikatan. Mereka boleh dikatakan bekerja secara ekstra professional karena beberapa alasan. Pertama, system penggajian yang diberlakukan bisa saja di bawah Upah Minimum Kabupaten atau di bawah standar gaji pegawai negeri. Namun catatan prestasi kinerja mereka hampir tidak ada yang di bawah standar. Ini bisa dilihat misalnya pada prestasi Ujian Nasional para siswa Sekolah Muhammadiyah. Di beberapa daerah, prestasi para siswa Sekolah Muhammadiyah sering sangat kompetitif dengan Sekolah Negeri. Contoh lain tentu bisa disimak juga pada pelayanan kesehatan Klinik- Klinik atau Rumah Sakit- Rumah Sakit Muhammadiyah, Panti- Panti Asuhan dan lain- lainnya.

Baca juga :  Bertemu Keluarga

Pertanyaan atas semua fenomena yang terceritakan di atas tentu bisa dengan mudah ditebak. Semangat apakah gerangan yang melandasi semua itu ? Dan jawabnnya juga sangat mudah, yaitu semangat memberi dan melayani – semangat Al Intiqod, yang menggemuruh di dada setiap insan Persyarikatan di semua posisi dan peran pada level apapun. Inilah semangat untuk menghidup-hidupi Muhammadiyah, dan tidak mencari penghidupan di Muhammadiyah. Tentu semangat itu menggelora karena dorongan penghambaan secara tulus kepada Sang Kholiq yang menggelegak tak tertahankan bagai magma gunung berapi yang ingin melebur dengan bumi. Dan pusat magma itu ternyata ada pada pengajian- pengajian yang dilaksanakan di surau- surau, musholla- musholla atau masjid- masjid Pimpinan Ranting.

Tentu, semangat Al Intiqod itu tidak perlu diberitakan kepada siapapun, bahkan jika semangat itu disalurkan melalui tangan kanan, maka tangan kiri tak perlu tahu. Jika melalui mobile banking, maka tak perlu dicetak dan didokumentasi. Jadi, jika masih ada yang mempertanyakan semangat Al Intiqod para anggota dan pimpinan Persyarikatan, barangkali ia sebenarnya mempertanyakan apakah semangat itu ada pada dirinya atau tidak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *