Opini

Guru Indonesia, Sumber Daya Kelas Dua

Oleh: Diana Kusumawaty

Waktu lulus SMA dan dihadapkan pada keharusan memilih dua jurusan perguruan tinggi, saya memilih Manajemen UI sebagai pilihan pertama dan Pendidikan Bahasa Inggris UNJ sebagai pilihan kedua. Artinya pilihan saya yang sebenarnya adalah Manajemen, dan kalau saya tidak lolos ke situ maka saya akan kuliah di pilihan kedua. Ya, saya cukup percaya diri bahwa dengan kemampuan akademik saya, saya pasti lolos untuk pilihan kedua. Lha terus pilihan pertama gimana ? Ya itu cita-cita saya, cita-cita setinggi langit kan gak salah toh ?

Singkat cerita, saya benar-benar ‘terdampar’ di pilihan kedua. Tidak menemukan jalan untuk ‘pulang’, sebaliknya menikmati berada pada pilihan kedua. Menjadi guru Bahasa Inggris akhirnya menjadi jalan hidup saya. Walaupun saya menjalani pekerjaan itu dengan senang hati, saya menyadari bahwa ini bukan jalan hidup impian saya.

Cerita semacam ini saya dapati terjadi pada banyak teman-teman saya yang berprofesi sebagai guru. Banyak diantara mereka yang menjadi guru ya sebab tidak lulus di pilihan pertama. Apakah ada yang benar-benar bercita-cita menjadi guru? Tentu saja ada, dan tidak sedikit jumlahnya. Tapi secara persentase masih lebih besar mereka yang dilempar takdir menjadi guru, daripada yang memilih jalan menjadi guru. Fakta lapangan inilah yang pada akhirnya mengantarkan saya pada pemikiran bahwa guru di sekitar saya ini kebanyakan adalah sumber daya kelas dua. Kenapa demikian ? Ya sesederhana kamu mau makan ayam tapi adanya tempe, akhirnya kamu makan tempe. Lha wong ayamnya tidak ada. Sesederhana itu saja.

Baca juga :  Madrosati Jannati, Menjadi Surga Kecil di SD Muhammadiyah (Plus) Salatiga

Menjadi mahasiswa ilmu kependidikan hanya;ah cadangan kalau-kalau tidak diterima di pilihan pertama yang bukan kependidikan. Pun setelah terdampar di ilmu kependidikan, para mahasiswa itu masih menganggap berkarir menjadi guru adalah pulihan yang terakhir.

Saya kenal seorang guru yang sejak kelas menengah atas sudah dididik untuk menjadi guru, di Sekolah Pendidikan Guru waktu itu namanya. Selepas itu, atas desakan orang tuanya, ia melanjutkan ke sebuah LPTK (Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan) di Bandung. Ndilalah tidak selesai karena terlanjur punya bisnis yang cukup maju. Akhir cerita ini adalah runtuhnya bisnis maju tadi, sehingga kenalan saya tadi kembali ke Haluan pertamanya, yakni menjadi guru. Ia menyelesaikan S1-nya, dan kini berprofesi sebagai guru. Mengutip kata-katanya, “Memang uangnya nggak seberapa, Bun. Tapi insya Allah berkah. Jadi ilmu yang bermanfaat.”

Tengoklah, betapa guru malah menjadi profesi pilihan terakhir. Bukan lagi kedua, melainkan terakhir. Ketika sudah tidak ada lagi cara lain, jadilah guru.

Mari kita lihat ke anak muda, para siswa SMA menjelang kelulusan. Tidak banyak dari mereka yang kalau ditanya tentang cita-cita akan menjawab dengan lantang, “Saya mau menjadi guru.” Adakah? Ada. Tapi mari kita akui bahwa guru bukanlah cita-cita mayortas highschoolers.

Suatu ketika di sebuah sekolah yang boleh dikatakan bonafide, diadakan semacam acara motivasi untuk siswa kelas 12. Pada acara itu dihadirkan seorang profesor, pakar pendidikan, yang nama besar dan pengalamannya sudah tidak diragukan lagi. Dalam sesinya, bapak profesor bertanya kepada salah satu siswa, “Apa universitas tujuanmu ?” Dijawab lantang oleh siswa itu dengan sebuah jurusan pendidikan keolahragaan di sebuah LPTK. Tak disangka, professor menjawab, “Kamu mau jadi apa di sana? Guru olah raga ?” Selanjutnya saya sudah lupa apa yang terjadi, ingatan saya buyar dari sana. Memori itulah yang berbekas. Tak terbayang bagi saya betapa berbekasnya itu di siswa yang bersangkutan. Cita-citanya dipertanyakan dengan pertanyaan semacam: “Kamu mau jadi apa ?” Memangnya apa yang salah dengan guru olah raga ? Saya sendiri sebagai guru melihat kejadian yang sama lebih dari dua kali. Semua itu terjadi dalam interaksi antara guru dan siswa. Pertanyaan saya kemudian adalah : bagaimana mungkin seorang guru mempertanyakan masa depan guru ?

Baca juga :  Menjaga Pemilu Supaya Tetap Damai

Padahal jika siswa sekolah bonafide itu menjadi guru saya yakin tentunya dia berangkat dengan sumber daya yang tidak main-main. Siswa-siswa itu sudah dipastikan mampu secara ekonomi dan akademik. Jika siswa dengan kemampuan akademik baik dan didukung dengan kemampuan finansial orang tuanya yang bisa mengantar bersekolah di mana pun ini kemudian memilih untuk menjadi guru maka besar kemungkinan akan tercipta guru-guru dengan kualitas baik. Sumber daya terbaik yang memang memutuskan untuk menjadi guru. Guru-guru yang memang sudah digerakkan hatinya sejak masih menjadi siswa bahwa ia akan kembali ke ruang kelas sebagai guru yang berkualitas baik. Bukan guru-guru yang terpaksa menjadi guru karena tidak punya pilihan lain.

Sebaliknya, ketika guru-guru tidak merekomendasikan siswanya menjadi guru, bisa anda bayangkan nasib guru (pendidikan) di masa depan. Seorang guru seharusnya menjadi duta untuk pendidikan, menjadi duta untuk profesinya sendiri. Alih-alih mempertanyakan siswanya yang bercita-cita menjadi guru, seharusnya seorang guru mengarahkan siswanya bahwa dengan menjadi guru mereka bisa mengubah peradaban.

Baca juga :  Mengembalikan “Siti Khotidjah” di Kudus

Ketika cita-cita menjadi guru dipertanyakan bahkan oleh guru sendiri, akibatnya tidak banyak siswa berprestasi yang memilih menjadi guru. Imbasnya, perguruan tinggi berbasis LPTK mendapatkan ‘mahasiswa sisa.’ Dosennya bagaimana ? Ini akhirnya menjadi lingkaran setan yang tidak ada habisnya.

Oleh sebab itu beranilah saya katakan bahwa pada saat ini di Indonesia, profesi guru lebih banyak diisi oleh sumber daya kelas dua. Mereka di kelas pertama, yang memiliki kemampuan akademik dan finansial yang baik, kebanyakan tidak memilih profesi menjadi guru. Jika pun menjadi pendidik, mereka akan memilih melanjutkan studi untuk ahirnya mengabdi di tingkat perguruan tinggi. Lalu apa yang terjadi ? Bengkalai pada tingkat pendidikan di bawahnya. Padahal seharusnya pendidikan saling berkelindan di semua level, agar bisa menghasilkan sumber daya yang terbaik di semua lini. Sehingga tidak ada lagi alasan ketidakmerataan sumber daya ketika kita bicara kualitas.

Beberapa guru (atau orang) yang menyadari ini akhirnya menjadi anomali, enigma yang sulit diterima di mana-mana, karena mengakui dan menyatakan dengan lantang bahwa pendidikan kita masih diisi oleh sumber daya nomor dua. Bagaimana pendidikan kita bisa mencetak sumber daya nomor satu jika pendidiknya sendiri adalah sumber daya kelas dua ? Lingkaran setan ini memang benar-benar setan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *