(Tulisan ini terinspirasi dari pertemuan dengan salah satu Guru MADIN Muhamamdiyah di kota Kudus.)
Oleh: Budi Hastono*
Pendidikan Muhammadiyah per tanggal 28 Juli hingga 30 Juli tengah mengadakan pertemuan besar secara nasional bertajuk “Konferensi Tingkat Tinggi” yang mempertemukan guru setingkat SD/MI di perguraan Muhammadiyah, dengan Tema “Kolaborasi Membangun Sekolah Berkemajuan” di UHAMKA Jakarta. Kata Konferensi Jika kita menilik kamus besar kita (KBBI) maka Konferensi merupakan rapat atau pertemuan untuk berunding atau bertukar pendapat mengenai suatu masalah yang dihadapi bersama; permusyawaratan; muktamar. Di dalam tubuh Muhammadiyah sendiri sebagai organisasi induk FGM ini memiliki banyak penamaan dalam pertemuan bersama secara nasional yang saat ini kita kenal dengan nama Muktamar. Namun, sebelum istilah Muktamar digunakan Muhammadiyah Pernah menggunakan bahasa belanda Vergaering yang bermakna Pertemuan Akbar, menggunakan istilah Pertemuan Tahunan, Congres, hingga menggunkan Muktamar hinga saat ini.
Sedangkan Istilah Konferensi di Muhammadiyah bisa kita temukan di beberapa dokumen-dokumen sejarah Pemuda Muhammadiyah yang pernah melangsungkan Konferensi, baik daerah maupun tingkatan nasional yang jika kita intip dari dokumen resmi dari website resmi Pemuda Muhammadiyah, maka Istilah Konferensi digunakan untuk menyebutkan Konferensi Pemuda Muhammadiyah di berbagai daerah yang terjadi pada tahun 1937, sedangkan istilah resmi Konferensi sebagai istilah permusyawararatan hanya tercantum di AD/ART Ikatan Pelajar Muhammadiyah yang menggunakannya sebagai istilah permusyawaratan tertinggi kedua di tingkat Cabang hingga Wilayah, sedang pada tingkat pusat disebut sebagai Tanwir.
Forum Pendidikan Muhammadiyah
Forum guru Muhammadiyah jika kita baca dari buku Pedomannya maka jati diri dari FGM adalah organisasi profesi Guru di lingkungan sekolah/Madrasah dan Pesantren Muhammadiyah yang memiliki sifat Mandiri, non partisan serta kesetaraan. FGM sendiri di dirikan pada tanggal 07 Maret tahun 2016 yang diawali dari Rakornas Kepala sekolah/Madrasah dan Pesantren pada 28 Februari 2018 dan diresmikan pada tanggal 12 mei 2016, dengan ketua pertama adalah Bapak Pahri dari Malang.
Disebutkan di dalam artikel Suara Muhammadiyah 14 Mei 2016, FGM di harapkan mampu mewadahi para bapak dan ibu guru kita agar menjadi guru yang profesional, kreatif, kritis, komunikatif, dan kolaboratif. Tidak hanya itu, Ketua FGM ini juga berharap para guru Muhammadiyah mempunyai kompetensi sesuai dengan bidangnya masih-masing.
Forum Guru Muhammadiyah (FGM) di dalam pedomannya menyebutkan tiga jenis pendidikan yang dilingkupinya yaitu Sekolah, Madrasah, dan Pesantren. Ketiga jenis lembaga pendidikan tersebut memang ada di Muhammadiyah dan di bawah Majelis Dikdasmen sebagai Majelis penyenggara pendidikan tersebut. Pun demikian Pesantren lebih istimewa lagi berdasar amanah Muktamar ke-47 hadirlah Lembaga Pengembangan Pondok Pesantren Muhammadiyah (LP3M) yang tentunya meningkatkan kualitas dari Pondok pesantren itu sendiri.
Majelis Dikdasmen sebagai Penyelenggara pendidikan baik Sekolah, Madrasah dan Pesantren. Dikuatkan dengan adanya Forum Guru Muhammadiyah sebagai Suport system pengelolaan pendidikan dan juga hadirnya Lembaga Pengembangan Pondok Pesantren merupakan skema terorganisir yang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas dan kaulitas pendidikan (formal) di Muhammadiyah, yang jika kita lihat dari laman majelis dikdasmen PP Muhammadiyah terdapat 3874 Sekolah, 2181 Madrasah dan 388 Pesantren.
Di lingkungan pendidikan di Indonesia dikenal pula Istilah Madrasah Diniyah sebagai salah satu pendidikan agama non formal. Lembaga pendidikan islam yang dikenal dengan nama madrasah diniyah telah lama di Indonesia, di masa penjajahan Hindia Belanda, hampir disemua desa di Indonesia dan penduduknya mayoritas Islam terdapat madrasah diniyah dengan berbagai nama dan bentuk seperti pengajian anakanak, sekolah kitab dan lain-lain. Penyelenggaraan madrasah diniyah ini biasanya mendapatkan bantuan dari raja-raja/sultan setempat. Setelah Indonesia merdeka, madrasah diniyah terus berkembang pesat seiring dengan peningkatan kebutuhan pendidikan agama oleh masyarakat, terutama madrasah diniyah diluar pondok pesantran di latar belakangi keinginan masyarakat terhadap pentingnya agama, terutama dalam menghadapi tantangan masa kini dan masa depan telah mendorong tingginya tingkat kebutuhan keberagaman yang semakin tinggi.
Dimanakah Pendidikan Madrasah Diniyah di Muhammadiyah?
Madrasah Diniyah adalah salah satu istilah yang sudah jarang kita dengar di lingkungan Pendidikan Muhammadiyah. Madrasah Diniyah disebutkan dalam buku “Pedoman Penyelenggaraan Madrasah Diniyah Takmiliyah” terbitan kementrian agama di tahun 2014, dalam buku tersebut dituliskan bahwa, “Madrasah Diniyah Takmiliyah merupakan salah satu lembaga pendidikan keagamaan Islam diluar pendidikan formal yang diselenggarakan secara terstruktur dan berjenjang sebagai pelengkap pelaksanaan pendidikan keagamaan. Di lembaga pendidikan ini, santri-santri yang belajar pada lembaga pendidikan formal umum ( SD/MI, SMP/MTs dan SMA/SMK atau sederajat ) dapat menambah dan memperdalam wawasan pengetahuannya tentang agama Islam. Tapi, lembaga ini tetap terbuka bagi siapapun anak usia pendidikan dasar menengah yang berminat dan beragama Islam, meskipun belum berkesempatan mengikuti pendidikan di lembaga formal.”
Majelis Dikdasmen sebagai pengelola pendidikan di Muhammadiyah menggunakan istilah Sekolah, Madrasah dan Pesantren dan kita dapat mengakses secara mudah jumlah sekolah/madrasah/pondok pesantren di Muhammadiyah. Namin kita akan kesulitan jika kita mencari data mengenai jumlah Madrasah Diniyah Muhammadiyah di laman-laman resmi Muhammadiyah. Jika kita ketik di laman pencarian mungkin kita akan menemukan beberapa skripsi tentang MADIN MUHAMMADIYAH di beberapa daerah, seperti di Banjarnegara (Bojanegara dan Batur), Ponorogo di daerah Pijeran, Klaten di desa Sribit. Pun ada pula dengan kata kunci tersebut beberapa berita dan titik lokasi, baik di Jepara, Sukoharjo dan lainnya, artinya Madrasah Diniyah Muhammadiyah itu ada.
Namun, saya tidak menemukan lembaga atau majelis yang secara anggaran dasar atau rumah tangga mengelola atau mengkoordinir Madrasah Diniyah ini. Artinya Madin Muhammadiyah dapat kita katakan dikelola oleh kesadaran dari masing-masing pimpinan ranting atau cabang di daerah masing-masing. Pun, beberapa artikel dari sejarah sebuah Madrasah (Formal) berawal dari adanya Madrasah Diniyah (Non-Formal), artikel sejarah itu saya temukan dari tulisan salah satu guru di Boyolali pada buku 101 cara mengembangkan AUM, sebuh buku tulisan guru-guru SD/MI Muhamamdiyah Boyolali (FGM Boyolali), ada pula dari Patikraja yang dapat kita baca di sejarah MI Muhammadiyah Patikraja, atau dari Solo yang secara oral saya dapat cerita bahwa SD Muhammadiyah 18 Sangkrah dulunya adalah MADIN/Sekolah sore. Dari kasus bacaan tersebut kita tahu bahwa pendidikan Madrasah Diniyah Muhammadiyah yangberdifat non formal dapat berubah menjadi Madrasah Formal (MI)
Fungsi Madrasah Diniyah
Di dalam buku pedoman penyelenggaraan MADIN disebutkan bahwa fungsi dari MADIN antara lain adalah menyelenggarakan pengembangan kemampuan dasar pendidikan agama Islam yang meliputi: Al-Qur’an Hadits, Ibadah Fiqh, Aqidah Akhlak, Sejarah Kebudayaan Islam dan Bahasa Arab dan juga Memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan agama Islam bagi yang memerlukan
Berdasarkan wawasan saya mengenai beberapa tulisan mengenai pendidikan Muhammadiyah, berita-berita mengenai prestasi sekolah Muhammadiyah, Pembangunan gedung-gedung baru di sekolah Muhammadiyah bahkan prestasi-prestasi mentereng sekolah Muhammadiyah baik SD, SMP, dan SMA cukup memenuhi jagad maya di lingkungan Muhammadiyah. Namun, kabar media soal Madrasah Diniyah Muhammadiyah memang tak cukup banyak beredar. Anehnya saya yang tidak memiliki latar belakang pendidikan Madrasah Diniyah suatu kali bertemu dengan kolega dari kota Kudus yang selain beliau sebagai pendidik di salah satu sekolah di Kota Kretek beliau juga sebagai salah satu pengajar Madrasah Diniyah.
Perbincangan itu terjadi sangat menarik, pun beberapa kali saya merasa tertegun bahwa di Muhammadiyah masih ada MADIN yang tetap eksis. Pertanyaan-pertanyaan bodoh saya lontarkan ke beliau yang mana saya memang sangat jarang mendengar kabar berita MADIN Muhammadiyah. Saya sempat mengajukan Pertanyaan, “Lha, muridnya itu siapa?”. Jawaban beliau yang cukup jelas menjawab bahwa rata-rata mereka adalah anak-anak Sekolah Dasar yang belajar di sekolah Negeri, Sorenya mereka datang ke MADIN untuk belajar ilmu-ilmu agama. “Lha bedanya dengan TPQ, itu apa?” dengan senyum simpul atas pertanyaan bodohku beliau memberi jawaban runtut soal apa yang diajarkan, tingkatan kelas di MADIN bahkan sampai Ijazah dikeluarkan saat murid telah usai belajar di MADIN tersebut.
Kader MADIN Muhammadiyah
Bagi saya yang bermuhammadiyah karena bersekolah di SMA Muhammadiyah awalnya menjadi begitu tercengang dan bahagia, bahwa MADIN Muhammadiyah mengkader masyarakat sekolah negeri seperti tuturan pengajar di MADIN Muhammadiyah di Kudus tersebut, yang mana dalam benakku muncul “Kader Madin Muhammadiyah” yang tidak berangkat dari sekolah formal Muhammadiyah macam MIM, SDM, MTsM, SMPM, MAM, SMAM, SMKM yang sering dipertanyakan ke kaderan lulusannya selepas selesai sekolah.
Menjadi Muhammadiyah memang sebuah pilihan, banyak jalan seseorang menjadi Muhammadiyah, kita bisa disebut Simpatisan, Anggota, Kader, dan Pimpinan yang mana kesemuanya menjadi indikasi siapa dan sebagai apa kita di organisasi Muhammadiyah. Kader Madin Muhamadiyah adalah ia yang tidak bersekolah di Muhammadiyah secara formal namun mendapatkan pendidikan khususnya agama dari Muhammadiyah. Kader Madin menjadi spesial karena persentuhannya dengan Muhammadiyah dari Madin di desa yang tentunya mendekatkan mereka kepada Islam secara keilmuan yang mereka tidak dapatkan dari sekolah (Negeri) mereka dan memungkinkan memesrakan hubungan dengan Organisasi Muhammadiyah.
Hal ini tentunya sebuah prestasi luar biasa dari Muhammadiyah yang kembali lagi membantu negara yang tidak hadir dari pendidikan formal mereka dalam bidang akhlak keagamaan. Mungkin, MADIN di Muhammadiyah dapat disamakan sebagai TPA/TPQ, sebuah lembaga pengajaran Alquran, namun di MADIN lebih banyak lagi ilmu yang diajarkan walau tidak sejauh di Pondok Pesantren. Tentunya kepentingannya menjadi begitu terlihat karena menyasar anak-anak yang bersekolah di sekolah negeri, pun tidak menutup kemungkinan mereka yang juga sekolah di Muhammadiyah.
Menggagas Forum Madin Muhammadiyah
Mungkin, MADIN di Muhammadiyah dapat disamakan sebagai TPA/TPQ, sebuah lembaga pengajaran Alquran yang mana TPQ pun memiliki forum perkumpulannya sendiri yang sering disebut sebagai BADKO TPQ atau ada pula FKDT (Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah) sebagai forum komunikasi Madrasah Diniyah, tentunya nama-nama forum tersebut bervariasi sesuai daerah masing-masing. Mungkinkah Muhammadiyah memiliki forum semakna dengan Madrasah Diniyah dilingkungan Muhammadiyah layaknya FKDT atay Badqo tersebut, yang memungkinkan di era digital sekarang ini mampu memobilisasi, mendata jumlah madin, melakukan pengembangan berkaitan dengan pendidikan di Madrasah bahkan meningkatkan kapasitas pendidik di lingkungan MADIN Muhammadiyah.
Kepentingannya mengenai manfaat yang dapat dimunculkan dengan adanya sebuah Madrasah Diniyah Muhammadiyah untuk masyarakat umum, pun jika kita lihat dari kepribadian Muhammadiyah adalah melakukan dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar Kepada yang telah Islam bersifat pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada ajaran Islam yang asli dan murni; dan yang kedua kepada yang belum Islam, bersifat seruan dan ajakan untuk memeluk agama Islam. Pun dengan adanya MADIN Muhammadiyah bagi mereka yang belum ber Muhammadiyah akan berMuhammadiyah di masa yang akan datang. Aamiin
*Budi Hastono bukan seorang kader Madin Muhammadiyah dan hanya mengenyam pendidikan MADIN di desanya ketika masih kecil, itupun hanya pada kelas bawah karena setelahnya MADIN Itu bubar dan mengaji lewat TPQ Baitul Mutaqien di Desa Binorong, Bawang Banjarnegara dan mengenal Muhammadiyah secara intens setelah bersekolah di SMA Muhammadiyah Banjarnegara. Budi Hastono lulus dari kampus Universitas Muhamamdiyah Surakarta.