Opini

Eksistensi VS Substansi: Menjaga Keseimbangan Peran Guru dalam Pendidikan Modern

Oleh : Rizky Novandi

Seiring perkembangan zaman, peran guru dalam pendidikan kini menjadi lebih kompleks dan beragam. Di era digital seperti saat ini, tugas seorang guru tak lagi hanya mengajar di dalam kelas, tetapi juga dihadapkan pada tantangan untuk beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Mereka juga diharapkan dapat membentuk karakter dan keterampilan siswa yang relevan dengan perkembangan zaman. Tak hanya itu, kehadiran guru di dunia maya, terutama di media sosial, turut berpengaruh terhadap citra dan relevansi mereka di mata publik. Hal ini memunculkan pertanyaan penting: bagaimana seorang guru bisa menjaga keseimbangan antara eksistensi (citra publik) dan substansi (kualitas pengajaran) dalam profesinya?

Peran Guru dalam Pendidikan Masa Kini

Guru memegang peran yang sangat besar dalam perkembangan kognitif dan sosial siswa. Namun, pengaruh mereka kini tidak terbatas hanya pada interaksi tatap muka di ruang kelas. Berdasarkan teori Konstruktivisme yang dikemukakan oleh Vygotsky (1978), “pembelajaran terjadi dalam konteks sosial melalui interaksi dengan orang lain, baik secara langsung maupun melalui media digital”. Oleh karena itu, peran guru saat ini tidak hanya terbatas di kelas, tetapi juga dalam membentuk pemahaman dan identitas siswa dalam dunia yang semakin terkoneksi secara sosial.

Namun, dengan kemajuan teknologi, hadir tantangan baru bagi guru. Banyak guru yang mulai aktif di berbagai platform digital seperti Instagram, Twitter, atau TikTok dengan harapan dapat menginspirasi dan memberikan dampak positif. Namun, kehadiran mereka di dunia maya juga membawa dilema tersendiri.

Baca juga :  Energi Baru Pasca Musyda Aisyiyah Kudus

Guru Eksis

Guru yang eksis seringkali terlihat sangat aktif di media sosial, dengan citra yang kuat dan menonjol. Mereka kerapkali menampilkan sisi “sempurna” dari kehidupan mereka, mengunggah berbagai prestasi, atau menunjukkan gaya hidup yang menginspirasi. Namun, fokus berlebihan pada citra diri ini bisa menjadi bumerang. Jika seorang guru terlalu mementingkan penampilan atau pengakuan publik, maka kualitas pengajaran mereka bisa terabaikan. Goleman (1995) dalam bukunya Emotional Intelligence mengingatkan bahwa “kecerdasan emosional dan hubungan yang otentik dengan siswa sangat penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang positif”. Guru yang terlalu berfokus pada eksistensi publik bisa jadi kehilangan fokus untuk membangun hubungan yang lebih mendalam dan empatik dengan siswa. Ditambah lagi, tekanan untuk selalu tampil sempurna dapat meningkatkan stres bagi guru itu sendiri, karena kehidupan yang ingin terlihat sempurna memberikan beban tersendiri bagi Mereka Ketika di hadapan Publik.

Guru Realistis

Di sisi lain, terdapat guru yang lebih memilih pendekatan realistis. Guru ini cenderung berfokus pada pembangunan hubungan yang lebih erat dan otentik dengan siswa. Mereka lebih memilih untuk mengutamakan pendekatan yang memahami kebutuhan dan kondisi individual siswa. Berdasarkan teori hierarki kebutuhan Maslow (1943), “pemenuhan kebutuhan dasar seperti rasa aman dan dihargai adalah kunci untuk menciptakan lingkungan belajar yang produktif”. Guru yang realistis juga lebih cenderung fokus pada pencapaian jangka panjang, mengembangkan keterampilan yang berguna bagi siswa di kehidupan nyata, seperti pemecahan masalah, berpikir kritis, dan keterampilan sosial.

Baca juga :  Marketing Mega, Umumkan Ganjar

Namun, kelemahan utama dari pendekatan ini adalah kurangnya perhatian pada pengakuan sosial atau popularitas. Guru yang realistis sering kali tidak mendapatkan sorotan yang layak di media sosial atau pengakuan publik, meskipun kontribusinya sangat besar dalam pendidikan. Bourdieu (1993) dalam teori modal sosialnya menjelaskan bahwa “pengakuan sosial dan status publik memegang peranan penting dalam membangun kredibilitas seorang professional”. Sayangnya, guru yang lebih fokus pada substansi sering kali mengabaikan hal ini.

Keseimbangan Antara Eksistensi dan Substansi

Dalam dunia pendidikan, penting untuk memahami bahwa eksistensi seorang guru tidak hanya sebatas gaya hidup atau penampilan semata, melainkan bagaimana mereka membangun citra yang dapat menginspirasi dan memotivasi siswa dan rekan sejawat. Di sisi lain, substansi merujuk pada kualitas pengajaran yang mendalam, pendekatan yang efektif, dan kemampuan untuk memahami serta memenuhi kebutuhan siswa dalam proses belajar.

Namun, tantangan terbesar bagi seorang guru adalah bagaimana menciptakan keseimbangan antara eksistensi dan substansi. Jika guru terlalu fokus pada citra atau popularitas di media sosial, mereka bisa kehilangan kedalaman dalam pengajaran yang mereka berikan, sehingga hubungan yang seharusnya terjalin dengan siswa bisa menjadi dangkal. Sebaliknya, jika guru terlalu fokus pada substansi dan mengabaikan penggunaan media digital untuk berbagi ide atau inspirasi, mereka mungkin kehilangan kesempatan untuk memperluas pengaruh mereka secara lebih luas.

Baca juga :  Hidup-Hidupilah Muhammadiyah

Baik guru yang eksis maupun guru yang realistis memiliki peran penting dalam dunia pendidikan. Keduanya memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing yang bisa saling melengkapi. Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed menekankan bahwa “pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menghubungkan teori dengan praktik”, yang berarti guru harus mampu menginspirasi siswa sambil tetap memberikan pembelajaran yang bermakna dan relevan. Untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas, sangat penting bagi guru untuk menemukan keseimbangan dalam membangun citra positif di mata publik sekaligus menjaga kualitas pengajaran yang autentik dan berdampak jangka panjang. Pendidikan yang efektif tidak hanya bergantung pada apa yang terlihat oleh dunia luar, tetapi juga pada hubungan yang dibangun antara guru dan siswa di dalam kelas.

Mencapai Keseimbangan Antara Eksistensi dan Substansi

Untuk mencapai keseimbangan yang sehat antara eksistensi dan substansi, guru perlu mengkolaborasikan kedua aspek tersebut dalam praktik sehari-hari mereka. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk memperkaya pengalaman belajar siswa. Misalnya, seorang guru dapat membagikan video singkat yang menjelaskan konsep-konsep yang dipelajari di kelas atau menulis artikel yang menghubungkan materi pelajaran dengan isu-isu sosial terkini. Dengan cara ini, guru tidak hanya memperlihatkan eksistensinya di ruang publik, tetapi juga meningkatkan kualitas substansi pembelajaran yang mereka berikan. Guru adalah Sosok yang harus hidup di dua dunia, Dunia nyata dan Dunia Maya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *