Tyas Ary*
Ingatan saya kembali melayang ke beberapa tahun silam. Saya yang cukup menggemari Dian Sastro dan Nicholas Saputra tidak ingin menyia-nyiakan sebuah film yang mereka bintangi nganggur begitu saja di aplikasi streaming yang terlanjur terinstal dan terbayar.
Maka dengan tekad bulat film berjudul 3 Doa 3 Cinta pun saya tonton. Ada sedikit pertanyaan dan penyesalan usai menontonnya. Saya memang sering tidak tega melihat artis-artis idola saya beradegan mesra, namun bukan itu keresahan terberat saya. Mungkin saya masuk dalam golongan cupu yang kaget dan mempertanyakan kemungkinan terjadinya cerita di film tersebut di kehidupan nyata.
Di akhir film tertulis sebuah note: untuk sahabat-sahabat masa laluku di Pesantren. Selanjutnya, saya mencoba menelusuri dengan ‘sedikit’ susah payah, hingga akhirnya saya menemukan bahwa Nurman Hakim sebagai sutradara film tersebut memang seorang lulusan Pondok Pesantren. Sedikit berasumsi, barangkali tokoh santri bernama Rian yang tak bisa jauh dari handycam-nya itu mewakili Sang Sutradara di masa mudanya. Lebih dari itu, tema yang diangkat jauh dari kata sederhana, cenderung nyelekit dan menakutkan bagi saya yang awam di dunia kepesantrenan.
Kasus Pelecehan Seksual di Pesantren Nyata Adanya
Ada kasus pelecehan seksual antara santri, dilakukan oleh kakak kelas kepada juniornya. Ada juga problematika pengurus pesantren dan isu terorisme di Indonesia. Namun Saya ingin lebih fokus dengan yang pertama: pelecehan seksual.
Secara bertubi-tubi kita disuguhi berita-berita yang miris tentang dunia kepesantrenan negeri ini. Anda bisa bertanya ke Mbah Google tentang kasus-kasus pelecehan di dunia pendidikan. Jika kesepuluh jari tangan anda direntangkan, masih kurang untuk membeberkan jumlah kasus yang terjadi.
Kasus yang terakhir saya baca adalah kasus sebuah pesantren di Asahan, Sumatera Utara, di mana seorang gurunya memaksa tiga orang santri melakukan seks oral. Belum kelar kita diresahkan oleh kasus Mas Bechi yang nggilani itu, pelecehan yang menjijikkan lagi-lagi terjadi.
Peristiwa yang muncul dan menjadi viral semakin banyak. Namun sebenarnya belum semuanya terkuak. Saya pernah mendengar cerita seorang santriwati alumni sebuah pesantren yang enggan disebut namanya. Apa yang dialaminya memang tidak separah yang dialami korban Bechi atau guru pesantren di Asahan itu.
Suatu hari ada seorang temannya tersenyum, senyumnya bukan senyum yang biasa sama sekali. Senyum menggoda, menampakkan temannya ini naksir, begitu. Masalahnya temannya ini sama-sama wanita, bukan laki-laki. Si santriwati tersebut, yang beberapa kali merasakan tabiat aneh dari temannya akhirnya menyusun strategi menghindar, agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.
Di dinding sebelahnya, adalah area pesantren laki-laki yang tak luput dari cerita suram. Diam-diam ada santri baru dipaksa untuk bungkam setelah mengalami pelecehan kakak kelasnya. Ini berarti, pelaku dan korban sama-sama lelaki. Hanya bisik-bisik ke sesama santri yang ditempuh oleh korban demi sedikit melegakan hati, meskipun kebiadaban kakak kelasnya terus terjadi.
Demi mendengar kisah ini saya langsung teringat film yang saya ceritakan di awal. Ketika dulu saya menganggap (atau lebih tepatnya berharap) film ini fiktif belaka, saat ini saya justru disesakkan dengan fakta-fakta mengerikan yang terjadi di luar sana, di bilik-bilik pesantren Indonesia.
Pentingnya Peran Pengawasan dari Otoritas
Jika tidak ada perubahan yang massif dalam pengawasan pesantren oleh lembaga resmi negara, maka bukan hanya kepercayaan yang dipertaruhkan tapi juga masa depan anak-anak kita.
Kalau di sebuah mall atau rumah jendral terpasang CCTV demi memantau keamanan, maka pesantren adalah sebuah institusi yang juga sangat urgent membutuhkan pantauan.
Kalau di gerbong kereta api saja kita melihat para petugas lalu lalang berpatroli mengawasi para penumpang, maka pesantren adalah objek yang jauh lebih membutuhkan. Hanya saja semua peralatan pemantauan dan pengamanan itu tidak murah saudara, dan banyak sekali pesantren negeri ini yang menerima santri dengan kondisi ekonomi pas-pasan cenderung kekurangan.
Mereka harus berhati-hati dalam menyusun anggaran, apalagi membebankan ke orang tua santri tentu bukan sebuah pilihan.
Melaksanakan kegiatan belajar-mengajar setiap hari dan menyediakan keperluan para santri sudah merupakan tantangan tersendiri. Jika masih harus menambahkan peralatan-peralatan canggih atas nama keamanan, tentu bukan hal yang mudah. Maka dukungan negara juga dibutuhkan seutuhnya, tidak setengah-setengah.
Saya menyimak sebuah wawancara dengan Retno Listyarti, komisioner KPAI. Retno mengatakan kasus kekerasan seksual di Indonesia seperti gunung es. Yang muncul di permukaan hanya sedikit dibanding yg belum dilaporkan.
Untuk itu perlu tindakan ekstrim dari Kementerian Agama, salah satunya dengan menyediakan kanal pengaduan yang mudah diakses oleh masyarakat, khususnya orang tua santri. Sistem pengawasan dengan teknologi juga harus segera diberlakukan. Jangan sampai ada blind spot yang memungkinkan terjadinya tindak pelecehan.
Yang perlu dipahami bahwa hampir 27 ribu pesantren tersebar di seluruh Indonesia, dan tidak semuanya dalam jangkauan Kementerian Agama. Ini adalah PR besar yang harus segera diselesaikan, tanpa ditunda.
Maka izinkan saya menyampaikan 3 doa untuk Pesantren Indonesia. Doa pertama adalah agar pesantren menerima kenyataan bahwa masyarakat Indonesia saat ini sangat perlu diyakinkan, bahwa pesantren adalah tempat yang aman. Doa yang kedua, dukungan pengawasan dan pemantauan segera dilakukan oleh negara untuk memastikan keamanan seluruh komponen di pesantren. Yang ketiga agar kepercayaan publik pulih kembali kepada lembaga pesantren, sehingga terlahir generasi yang unggul dari segi ilmu pengetahuan dan berakhlak mulia.
Maka alih-alih diam, setidaknya kita ikut mengaminkannya.
*Ibu rumah tangga, penyayang binatang, tinggal di Cikarang.