Oleh Ilham Ibrahim
Tepat berusia 110 tahun, lahir di desa Kauman tahun 1912, Muhammadiyah lahir dan tumbuh di bawah kekuasaan kolonialisme Belanda. Di tahun-tahun pertama, perjuangan dakwah Muhammadiyah bukan tanpa hambatan. Organisasi yang didirikan KH. Ahmad Dahlan ini langsung dihadapkan dengan dua realitas ganda: merespon dominasi aliran mistik seperti bidah dan khurafat dalam Islam di Indonesia, dan melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda dengan cara-cara non-konfrontatif.
Dalam merespon dua tantangan besar tersebut, para tokoh Muhammadiyah mengambil langkah yang terbilang berani dan nekat. Sebelum melakukan pembaharuan, KH. Ahmad Dahlan menapaki jejak pemikiran-pemikiran sarjana Muslim. Melalui interaksinya dengan KH. Saleh Darat dan Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, Dahlan belajar dari para raksasa pemikir Islam seperti Idris al-Syafii, Hamid al-Ghazali, Ibnu Taimiyah sampai Muhammad Abduh. Semuanya memberi bekal intelektual sehingga misi pembaharuan menjadi sangat bertenaga.
Di antara langkah yang terbilang revolusioner tersebut ialah mengoreksi arah kiblat Masjid Gedhe Kauman, membangun Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, membuat Majalah Suara Miuhammadiyah, serta mendirikan klinik PKO Muhammadiyah. Langkah ini diambil sebagai komitmennya untuk memurnikan akidah dan ibadah Islam, mendinamisasikan persoalan-persoalan muamalah, mempromosikan Islam yang tengahan, sekaligus sebagai respon terhadap perkembangan kolonialisme Belanda di Tanah Air.
Pada masa kemerderkaan tahun 1945, Muhammadiyah turut membidani lahirnya Pancasila sebagai dasar negara. Dalam drama penghapusan “tujuh kata”, misalnya, tokoh-tokoh Muhammadiyah memang yang paling siap dan mampu berdialog dengan ragam pemikiran terutama alam pikiran modern, termasuk soal konsep negara. Mereka mafhum bahwa mengutamakan persatuan, apalagi kemerdekaan bangsa sedang di bawah ancaman Sekutu, merupakan jalan paling mashlahat ketika itu.
Pada saat Orde Baru berkuasa, Muhammadiyah menegaskan posisinya sebagai gerakan Islam dan Tajdid, bukan partai politik. Hasilnya tahun 1971 lahirlah apa yang disebut dengan “Khittah Muhammadiyah”. Inti dalam khittah ini menegaskan bahwa Muhammadiyah akan tetap istiqomah dalam mengemban fungsi dakwah dan tajdidnya sebagai gerakan Islam yang berkiprah dalam lapangan sosio-kemasyarakatan.
Lahir pada era kolonial, Muhammadiyah terus bertahan hingga zaman milenial. Pada era ini Muhammadiyah telah berkembang, tidak hanya amal usaha tapi juga pemikiran. Saat ini Muhammadiyah telah memiliki amal usaha di Malaysia dan Australia, berdiri subur sejumlah PCIM di beberapa negara, dan terlibat aktif dalam pergerakan mitigasi bencana skala internasional. Dalam pemikiran, Muhammadiyah telah banyak melahirkan ide-ide konstruktif seperti Pancasila sebagai Dar al-Ahdi wa al-Syahadah, Fikih Kebencanaan, Fikih Informasi, dan lain-lain.
Meski telah berusia lebih dari satu abad, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menegaskan bahwa Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah akan terus berkomitmen untuk memajukan (al-hadlarah) dan mencerahkan (al-tanwir) kehidupan semesta. Hal tersebut disampaikan Haedar dalam acara Orasi Kebangsaan Muhammadiyah & ‘Aisyiyah se-Bali pada Jumat (21/10) silam di Hotel Princess Keisha, Denpasar, Bali.
“Komitmen kita membangun kehidupan umat manusia yang satu sama lain memberi makna dan kemaslahatan untuk kehidupan semesta alam yang diciptakan Tuhan dengan penuh anugerah ini. Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah ingin hadir meneguhkan kehadiran Islam sebagai din al-hadlarah (memajukan) dan din al-tanwir (mencerahkan),” tutur Haedar.
Frasa ‘memajukan’ berarti membuat segala hal yang positif dan baik berada di depan. Terdepan dalam memberikan pertolongan, pengentasan kemiskinan dan kebodohan. Sementara arti dari ‘mencerahkan’ ialah mengubah kondisi yang serba gelap menjadi terang bercahaya. Dua frasa ini merupakan bahasa lain dari Islam sebagai rahmat semesta alam (QS. Al Anbiya: 107). Rahmat adalah kebaikan yang serba utama dan kebaikan yang serba melintasi untuk semua.