Oleh : Maolana Evendi – MPI Kab. Tegal, Guru SDM Kademangaran
Polemik seputar Muhammadiyah yang menerima Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dari pemerintah melahirkan banyak pro dan kontra. Sejatinya hal ini sudah disadari oleh PP Muhammadiyah karena itu PP Muhammadiyah tidak langsung serta merta menerima ketika ditawari izin pengelolaan tambang namun lebih memilih melakukan kajian dan riset untuk menentukan keputusan.
PP Muhammadiyah juga menggelar Konsolidasi Nasional Muhammadiyah pada 27-28 Juli 2024 di Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta yang diikuti oleh pimpinan pusat Muhammadiyah, majelis, lembaga, biro, dan organisasi otonom tingkat pusat, pimpinan wilayah Muhammadiyah seluruh indonesia dan rektor perguruan tinggi untuk menentukan sikap dalam persoalan ini.
Kesadaran Muhammadiyah bahwa tindakan menerima WIUPK akan melahirkan polemik di masyarakat terutama di warga persyarikatan dapat dilihat dari pernyataan Haedar Nashir setelah diputuskan untuk menerima. Dalam pernyataannya Haedar menyebutkan bahwa kelompok kontra memiliki banyak argumentasi, antara lain terkait masalah lingkungan dan pengelolaan tambang yang berpotensi menimbulkan masalah. Sementara, pihak yang pro, disebut memiliki argumentasi mengenai fakta-fakta yang ada di lapangan tentang nilai positif dari pengelolaan tambang.
Banyak warga Muhammadiyah di akar rumput yang menyayangkan keputusan ini, karena selama ini Muhammadiyah bisa terus bergerak maju, kuat secara ekonomi, membangun AUM dan fasilitas lainnya dengan tidak mengandalkan kucuran dana dari pemerintah.
Ketidak setujuan warga persyarikatan di akar rumput sejatinya mencerminkan harapan mereka pada organisasi besar ini, bahwa ditengah-tengah kondisi negara yang masih banyak masih banyak ketimpangan dan kecurangan yang terjadi di negara ini Muhammadiyah akan menjadi organisasi pembeda yang bisa membuka jalan perubahan menuju kearah yang di idam-idamkan oleh banyak rakyat Indonesia.
Menyikapi hal ini sepertinya bijak bagi para petinggi struktural Muhammadiyah dari tingkat Pusat sampai Ranting untuk tidak menganggap bahwa ketidaksetujuan ini merupakan sebuah pembangkangan pada organisasi, namun lebih kepada sebuah bentuk ekspresi cinta pada organisasi dan harapan bahwa Muhammadiyah akan tetap tegak lurus mengusahakan kepentingan umat demi mencapai maksud dan tujuan Muhammadiyah dan tidak terkontaminasi oleh hal yang pada akhirnya menyengsarakan warga negara.
Polemik pasti terjadi, ketidaksetujuan tentu merupakan hal yang lumrah karena tidak mungkin menyeragamkan persepsi pada banyak kepala tinggal bagaimana membuktikan bahwa kekhawatiran yang menjadi bukti kecintaan dan kebanggaan masyarakat pada organisasi ini adalah suatu hal yang tidak terjadi.
Bagaimanapun keputusan Muhammadiyah sudah ditetapkan, warga Muhammadiyah tentunya mau tidak mau harus menerima, namun setidaknya masyarakat bisa berperan untuk menjadi pengawal tujuan Muhammadiyah menerima konsensus ini sebagaimana di sampaikan oleh Abdul Mu’ti terkait setidaknya sembilan alasan dari hasil pandangan anggota PP Muhammadiyah rapat pleno PP Muhammadiyah 13 Juli 2024 di kantor Jakarta.
Pada point ketujuh Abdul Mu’ti menyatakan bahwa “dalam pengelolaan tambang Muhammadiyah berusaha mengembangkan model yang berorientasi pada kesejahteraan dan keadilan sosial pemberdayaan masyarakat membangun ekosistem yang ramah lingkungan, riset dan laboratorium pendidikan serta pembinaan jamaah dan dakwah jamaah, pengembangan tambang oleh Muhammadiyah diusahakan dapat menjadi model usaha not for profit dimana keuntungan usaha dimanfaatkan untuk mendukung dakwah dan amal usaha Muhammadiyah serta masyarakat luas.”
Masyarakat juga bisa menjadi pengawas bagaimana model pengelolaan tambang yang akan diterapkan oleh Muhammadiyah karena pada point keenam sebagaimana yang disampaikan oleh Abdul Mu’ti menyatakan bahwa, “pengelolaan tambang oleh Muhammadiyah dilakukan dalam batas waktu tertentu dengan tetap mendukung dan melanjutkan usaha-usaha pengembangan sumber-sumber energi yang terbarukan serta membangun budaya hidup bersih dan ramah lingkungan. Pengelolaan tambang disertai dengan monitoring evaluasi dan penilaian manfaat dan mafsadat atau kerusakan bagi masyarakat.”
Selanjutnya Masyarakat bisa menuntut pertanggungjawaban Muhammadiyah jika pengelolaan tambang tidak sesuai dengan sembilan alasan yang disampaikan oleh karena pada lanjutan poin keenam bahwa Abdul Mu’ti menyatakan bahwa “apabila pengelolaan tambang lebih banyak menimbulkan mafsadat maka Muhammadiyah secara bertanggung jawab akan mengembalikan izin usaha pertambangan kepada pemerintah.
Dalam poin-poin yang disampaikan oleh Abdul Mu’ti ini terlihat tujuan yang menunjukkan kepedulian dan cinta Muhammadiyah pada negara dan masyarakat yang patut ditunggu bagaimana realisasi kedepannya
Tentunya masyarakat sangat berharap Muhammadiyah amanah dalam mengelola tambang sebagaimana disampaikan dalam sembilan alasan dan pertimbangan Muhammadiyah memutuskan untuk menerima ijin pengelolaan tambang. Cinta, kepedulian dan harapan masyarakat pada Muhammadiyah tentu tidak layak dibalas dengan kekecewaan yang sering diterima masyarakat akibat buruknya pejabat pemerintah dan orang-orang yang memiliki kekuasaan