Oleh : Achmad Hilal Madjdi
Tak jauh di depan kompleks masjid Menara Kudus, ada bangunan sederhana yang ramai diantri pelanggannya, yaitu warung Mak Nyo dan toko kelontong Mintris. Dua-duanya milik warga Tionghoa yang dengan aman dan nyaman mengelola usahanya dengan pelanggan- pelanggan muslimya. Tak ada provokasi satu hurufpun mengajak para pelaggan muslim kedua Cina itu supaya beralih ke warung atau toko kelontong milik orang Jawa atau milik muslim.
Yang “nglangeni” dari warung Mak Nyo adalah pecel cungor dan nasi pindangnya meskipun secara pribadi saya tidak menganggap masakan beliau super enak. Warungnyapun tidak bisa dikatakan sebagai warung yang indah dan nyaman serta sehat untuk ukuran sekarang. Bahkan di warung itu pula beliau dan keluarganya bertempat tinggal. Tak jarang, ketika para pelanggan sedang menikmati makanan yang disajikan, anak cucu Mak Nyo yang masih kecil berlarian sambil sesekali berteriak- teriak riang. Tidak hanya itu, kucing- kucing entah milik siapa juga ikut mampir ke warung dan mengeong di bawah meja menunggu uluran belas kasihan para pelanggan yang sedang makan.
Lalu apa istimewanya sehingga warung Mak Nyo yang sekarang sudah tidak buka lagi itu begitu melegenda ? Beberapa teman dan kerabat yang sudah lama mukim di luar kota masih menanyakan warung ini ketika pulang ke Kudus atau ketika bersms/ ber WA. Namun rasanya sulit juga bagi saya dan mungkin yang lain untuk menjawab pertanyaan di atas.
Saya sempat membincangkan hal itu dengan beberapa teman yang bernostalgia mengenang kawasan Menara yang dulu tidak seramai sekarang. Mereka juga bingung ada apa dengan warung Mak Nyo. Tapi kemudian kami sepakat asal- asalan, mengambil suatu simpulan yang sumir bahwa warung Mak Nyo populer dan bahkan melegenda karena nama dan sebutan “Mak Nyo” yang begitu simpel dan mudah diucapkan, tak perduli nama itu dari bahasa apa dan beliau dari etnis apa. Kalau mau makan pecel atau nasi pindang, ya di warung Mak Nyo.
Lain lagi dengan Mintris. Nama ini menurut saya jauh dari bau Cina walaupun hanya setitik. Tapi pemilik dan sekaligus pelayan toko kelontong ini memang beretnis Tionghoa. Menurut cerita kakak saya, toko kelontong ini sudah ada ketika pasar Kudus masih di kawasan sebelah timur Menara Kudus. Ketika pasar kota ini kemudian dipindah ke kawasan Jember, kira- kira seribu meter sebelah barat kawasan Menara, toko Mintris tetap buka di kawasan Menara bersama beberapa warung dan toko sebelahnya.
Lupa-lupa ingat, saya sepertinya pernah beberapa kali diajak kakak belanja ke toko Mintris. Berbeda dengan Mak Nyo, pemilik toko Mintris yang sering dipanggil “Cik” oleh pelanggannya, belum begitu tua saat itu. Suaminya yang berpostur tinggi juga belum tua dan kelihatan kecinaannya. Seingat saya, mereka berdua tidaklah ramah- ramah amat ketika melayani pelanggannya. Tapi saya sering melihat antrian para pelanggan di depan tokonya bahkan pasca pasar dipindah ke Jember.
Suatu ketika, kakak saya yang mukim di luar kota setelah menikah, bertanya tentang toko Mintris ketika beliau pulang ke Kudus. Beliau tidak heran mendengar jawaban saya bahwa toko itu masih tetap ramai.
“Trasinya memang enak sih, “ sahut kakak mendengar cerita saya. Nah, ini rupanya penyebab utama ramainya toko Mintris.
Ternyata menjaga kerukunan, kenyamanan dan bahkan segala sambung rasa itu sederhana. Sebutan yang pendek -mudah diucapkan, trasi, pecel dan nasi pindang yang enak. Tidak perduli apakah dia Jawa, Sunda atau Cina, muslim atau non muslim. Kerukunan dan toleransi ternyata dimulai dari yang sederhana. Provokasi dari pihak ke tigalah yang membuatnya menjadi rumit. Oleh karena itu, mari kita “bersederhana” dalam menjalani kehidupan, agar tenang-tentram dan rukun.
Dalam konteks Persyarikatan, cerita tentang Mak Nyo dan Mintris membingkai suatu harapan, bahwa pengelolaan persyarikatan sebenarnya mudah apabila berorientasi pada olah rasa, olah kepercayaan dan kejujuran serta olah tanggung jawab. Secara pragmatis ingin saya sampaikan bahwa kader- kader Persyarikatan seharusnya menjadi kader- kader pengelola AUM dan AUA tanpa harus menyebut keterlibatan mereka sebagai sebuah kolusi atau kong kalikong.
Cak Nur Kholis Majid menyentil betapa pentingnya keluarga persyarikatan menyekolahkan anak- anaknya di sekolah- sekolah Persyarikatan agar sekolah yang dimiliki persyarikatan memiliki kualitas yang optimal dari sisi “output” maupun “outcomenya”. Begitu pula dengan pengelolaan AUM dan AUA. Sungguh aneh jika Persyarikatan rajin mendirikan AUM atau AUA yang kemudian diserahakan kepada “orang lain” untuk mengelolamya. Hanya logika yang kurang sehat yang menerima keanehan di atas.
Tentu saja, sebagaimana Mak Nyo dan Mintris, setiap kader Persyarikatan yang mendapat Amanah mengelola AUM atau AUA harus mampu menghadirkan performasi tata Kelola usaha sebagaimana Mak Nyo dan Mintris. Tidak ribet- sederhana namun mampu menyuguhkan layanan paripurna dan menyenangkan. Layanan paripurna menjawab tatangan manajemen modern tentang efisiensi- efektivitas, eligibility, transparency, sustainability dan responsibility. Sedangkan menyenangkan merupakan bingkai tata kelola yang humanis dengan hospitality yang berterima.