Opini

Catatan Kecil II : Mbak Cicik

Oleh : Achmad Hilal Madjdi

Saat itu saya hampir berada dalam situasi stag dan mungkin akan berakhir pada titik nol serta perasaan bersalah telah mengambil jurusan yang tidak bisa saya ikuti dengan baik: jurusan Pendidikan Bahasa Inggris (waktu itu namanya jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Bagaimana tidak, wong saya tidak bisa memahami perkuliahan dosen yang menyampaikan materi perkuliahannya dengan berbahasa Inggris. Praktis hampir selama satu semester saya hanya sekedar kuliah dan kuliah, mengisi waktu siang sehabis mengajar SD dengan kegiatan akademis yang oleh beberapa teman dianggap cukup prospektif.

Maka mulailah saya berselancar dalam dunia baru yang tidak semua guru SD waktu itu menikmati karena teman seangkatan saya kebanyakan menikah setelah diangkat menjadi PNS. Perselancaran saya mulai dari diskusi- diskusi kecil untuk mendongkrak wawasan berpikir biar seperti mahasiswa pada umumnya. Dari situ saya juga berkenalan dengan para aktivis ekstra kampus, baik dalam atmosfer abangan-bahkan sedikit “ngorea”, akademis, elitis maupun religius.

Saya juga sempat mengikuti dan menghayati diskusi – diskusi yang cukup berbobot seputar ideologi negara, pergerakan politik dan kemasyarakatan dan lain sebagainya. Ada pula pertengkaran internal kelompok yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal dengan temannya sendiri yang tidak mau menerima asas tunggal, suatu pertengkaran yang memang seperti hampir tidak berakhir. Mereka silih berganti melontarkan klaim-klaim yang untungnya cukup akademis dengan kemasan- kemasan yang menarik disimak bagi kalangan akademisi pula. Saya tidak tahu apakah ada juga pergulalatan yang semi temperamental. Atau setidaknya saya tidak pernah menyaksikan yang semacam itu.

Namun saya tidak begitu intensif mengikuti kajian- kajian dan diskusi yang dilakukan kedua belah pihak. Alasan saya memang klasik, yaitu karena saya masih berkutat dengan perkuliahan yang masih agak kacau balau saya ikuti. Karena itulah saya juga tidak pernah berhenti mencari referensi dan nara sumber yang bisa saya rujuk untuk mendongkrak prestasi akademik saya, hingga suatu saat saya melihat seorang “bule’ sedang belanja di suatu toko di Kawasan Menara Kudus.

Melihat “bule” bagi pembelajar bahasa Inggris seperti saya pasti sangat senang dan berpikir tidak akan melepaskan peluang untuk berkenalan dan berbincang dengannya. Maka dengan keberanian yang tak terbendung, saya segera mendekat dan say hello kepadanya. Alhamdulillah si bule sangat ramah dan menjawab tegur sapa saya dengan menyenangkan. Kemudian perbincangan melebar ke kiri ke kanan sehingga saya tahu bahwa beliau berada di kudus karena sedang melakukan penelitian disertasinya tentang kultur Kudus kulon, dan karena itu beliau juga tinggal di kawasan Kudus kulon, tidak jauh dari rumah saya.

Nama lengkapnya G.G Weix, mahasiswi S3 Cornel University Newyork. Kami berjarak cukup jauh dari sisi usia dan akademis, sehingga saya memanggilmya “mbak” (kakak) sesuai etika dan budaya Jawa.

“ Panggil saya mbak Cicik, “ Katanya dengan bahasa Indonesia yang masih kedengaran kaku karena beliau baru hari tinggal di Kudus. Terkadang beliau juga belajar menuturkan wicaranya dengan bahasa Jawa yang terdengar aneh dan lucu.

Singkat cerita, saya dan mbak Cicik serta teman- teman kuliah saya menjadi sangat akrab dan bekerja sama secara mutulaisme. Kami belajar bahasa Inggris, terutama bahasa lesan, sedang mbak Cicik belajar dan memfasihkan dari kami bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Dalam waktu yang relatif singkat, pergolakan ideologis menyangkut asas tunggal tidak lagi menjadi suatu materi diskusi saya dan teman- teman, apalagi saya juga tidak mengambil posisi pro atau kontra dengan kelompok- kelompok itu.

Sikap itu saya ambil dari hikmah wejangan mbah AR Fahruddin, yang mengatakan bahwa kita semua, bangsa Indonesia, sedang naik kapal besar yang telah disepakati bersama bernama negera Republik Indonesia yang berBhinneka Tunggal Ika, menuju masa depan yang dicita-citakan bersama. Maka sebaiknya jangan ada yang memutar haluan sendiri, apalagi melubangi kapal. Dari hikmah itu saya menjadi lebih focus pada aktivitas perkuliahan.

Intensitas “academic exposure” saya dan teman- teman dengan mbak Cicikpun semakin tinggi, apalagi secara kultural beliau mempunyai dan menjaga betul etika menghormati pendapat siapapun yang sedang mengemukakan pendapat. Pengalaman hebat ini memang agak sulit dilupakan karena secara akademis saya dan teman- teman memang layak menjadi murid mbak Cicik. Jangankan mengerti dan memahami disertasi yang sedang belaiu kerjakan. Skripsipun kami belum menyentuh karena waktu itu kami baru memasuki semester III. Jadi bisa dibayangkan bagaimana konteks persahabatan itu dibangun oleh dua generasi yang berbeda jauh secara usia dan kapasitas akademik serta latar belakang sosio kulturalnya.

Anehnya, pada waktu beliau mau kembali ke negaranya, dengan ekspresi wajah bersungguh-sungguh beliau meminta saya membaca dan memberi komentar draft abstrak disertasi.

“ Please read it, and give me your comment..” katanya. Wah, pikir saya dalam hati. Apakah memang demikian budaya akademik yang dijunjung tinggi Cornel University ? Bahkan mahasiswa ingusanpun seolah memiliki makna besar untuk suatu draft disertasi. Saya jadi teringat materi kajian di suatu masjid, ”perhatkanlah apa yang dikatakan, jangan perhatikan siapa yang mengatakan…”

Ah, bukankah itu salah satu dari nilai- nilai yang bisa mendorong terwujudnya Izzul Islam wal Muslimin ? Ternyata nilai itu dipraktekkan secara sungguh- sungguh oleh mbak Cicik GG. Weix yang dari Newyork. Tata nilai itu kemudian atas kehendak Allah saya nikmati selama satu semester ketika saya memperoleh beasiswa Sandwich program di Ohio state University, USA. Suatu pengalaman yang sangat diapresiasi mbak Cicik via email- emailnya karena meskipun saya di USA beliau tidak berkesempatan menemui saya karena beliau tinggal di negara bagian yang berbeda dengan yang saya tinggali dan kesibukan beliau yang sangat- sangat padat.

Singkat cerita- enam tahun kemudian setelah kepulangan saya dari USA, tepatnya tahun 2016, tanpa pernah saya perkirakan sebelumnya, saya mendapat email dari seseorang dari Minessota Unversity, mengabarkan bahwa dia akan datang ke Indonesia dan akan datang ke Kudus. Ternyata pemilik email itu adalah Prof. G.G Weix, Ph.D.

“Sugeng rawuh wonten Kudus, Prof,” salam erat tangan saya kepada beliau ketika bertemu dan saya ajak ke rumah, bertemu istri dan anak- anak saya.
“Matur nuwun…. Anakmu wes gedhe-gedhe..” Jawabnya tertawa.
“Yuuk nggolek nasi tahu..”, ajaknya.

Malam itu saya mengulang kebersamaan dengan mbak Cicik, bersama istri dan anak-anak saya, mencari dan menikmati kuliner khas Kudus: nasi tahu goreng.

Baca juga :  Hasil

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *