Oleh : Achmad Hilal Madjdi
Suatu hari salah satu murid SD saya ingin mengikuti lomba baca puisi yang diselenggarakan oleh salah satu majalah anak- anak dua mingguan yang cukup populer waktu itu, terbitan Semarang. Keinginan itu saya sampaikan kepada Kepala Sekolah dan direspons positif. Saya diminta untuk membantu mendaftarkan anak tersebut ke Semarang. Maka berbekal Surat Rekomendasi dari Kepala Sekolah, saya berangkat sendirian ke kantor redaksi majalah tersebut di Semarang.
“Mengajar di kelas berapa, dik ?” Tanya seorang Bapak muda yang duduk di kursi belakang meja yang ada tulisannya Wakil Redaktur. Saat itu bagian pendaftaran lomba sedang istirahat dan saya ditemui langsung oleh beliau, yang memperkenalkan dirinya sebagai pak Arif.
“Kelas lima, pak..”, jawab saya lugas. Lantas berbagai pertanyaan diajukan namun karena pak Arif is “easy going”, tanya jawab ini tak nampak seperti wawancara, tapi lebih sebagai jagongan dengan topik pembicaraan yang melebar ke sana dan ke sini.
“Saya kira adik bisa menjadi kontributor kami untuk daerah Kudus dan sekitarnya,“ Sahut pak Arif menyahut cerita tentang waktu- waktu saya yang masih terluang susai mengajar dan kuliah.
“Justru dengan menulis ilmu adik akan berkembang dengan baik karena adik akan meningkatkan kualitas diri dengan membaca dan kemudian menuangkannya dalam teks-teks yang membangun wacana yang ingin adik kembangkan,” tambahnya panjang lebar ketika saya masih diam. Mungkin terbaca keraguan di wajah saya. Tapi akhirnya saya menerima tawaran itu setelah berbagai kata dan kalimat kunci “ditembakkan” bertubi- tubi ke telinga saya oleh pak Arif.
Praktis, sepulang dari Kantor redaksi majalah anak- anak di Semarang itu saya punya medan perselancaran baru selain mengajar di SD dan kuliah. Medan baru ini tentu tidak dengan mudah saya tapaki karena saya belum dibekali dengan ilmu kewartawanan secuilpun. Hanya kata menulis dan menulis yang selalu didengungkan pak Arif waktu itu dengan alasan bahwa produk seorang wartawan adalah tulisan. Konten atau isi tulisan bisa ditata dan diperbaiki seiring dan sejalan dengan produk yang dihasilkan. Saya sempat bertanya- tanya dalam hati, masak sih semudah itu ?
Namun keraguan itu tidak menghalangi keinginan saya untuk memulai profesi baru sebagai tambahan kegiatan pengisi waktu luang. Tulisan pertama saya adalah reportase tentang lomba dokter kecil yang saat itu merupakan lomba yang sangat bergengsi dan populer untuk siswa- siswa Sekolah Dasar. Mengapa lomba ini bergengsi dan populer ? Sebab hampir setiap siswa Sekolah Dasar akan menjawab ingin menjadi dokter kalau ditanya atau disuruh menulis paragraf pendek dengan judul cita- citaku dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Entah mengapa Jarang atau bahkan tidak ada yang menulis ingin menjadi guru Sekolah Dasar.
Ternyata tulisan saya yang pertama itu direspon baik oleh pak Arif dan dimuat dua minggu kemudian. Maka hebohlah komunitas guru di lingkungan saya mengajar karena memang saat itu jarang guru SD menulis di Koran atau majalah. Sukses pertama dengan honorarium yang besarnya kira – kira seperempat dari gaji saya itu benar- benar melecut semangat saya. Jika dalam satu bulan ada empat tulisan yang dimuat, pikir saya berkalkulasi, maka saya akan mendapat gaji dua kali yang sama. Sebuah kalkulasi yang belakangan terbukti tidak secara dominan menyuguhkan rasa puas dan bahagia bagi seorang penulis karena lama kelamaan kepuasan dan kebahagiaan itu justru saya dapatkan lebih ketika tulisan- tulisan saya dimuat. Namun dalam konteks kejiwaan seperti itu justru saya diberi tantangan baru oleh pak Arif, sang Wakil Redaktur.
“Mengapa tidak sekalian ikut memasarkan majalah kita ?” Tantangnya suatu hari di kantor Redaksi. Saya hanya diam sambil menerka arah pembicaraan yang sebenarnya dari pak Arif. Beliau kemudian memaparkan berbagai strategi pemasaran praktis ditambah dengan hak- hak yang akan saya peroleh dari tambahan pekerjaan baru itu. Paparan pak Arif yang mantap dan meyakinkan akhirnya meluluhkan hati saya karena tergambar dengan jelas tambahan sumber pendapatan yang bisa menjaga stabilitas moneter saya karena setiap awal semester memang harus membayar SPP perkuliahan saya.
Maka setelah itu bertambahlah branding saya sebagai guru SD, mahasiswa, wartawan, dan agen majalah anak- anak.