Oleh: Riza A. Novanto, M.Pd – Ketua Majelis Pustaka Dan Informasi PDM Kab. Tegal
Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) dibentuk dengan niat mulia untuk memperkuat dan menegakkan ideologi Pancasila di Indonesia. Namun, realitas menunjukkan bahwa BPIP tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai Pancasila yang seharusnya mereka dukung. Salah satu contoh nyata dari ketidaksesuaian tersebut adalah kasus pelarangan pasukan paskibraka mengenakan jilbab, yang menunjukkan adanya ketidakcocokan antara praktik BPIP dan prinsip-prinsip Pancasila itu sendiri.
Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, mengandung lima sila yang menggarisbawahi nilai-nilai utama seperti keadilan sosial, persatuan, dan penghormatan terhadap keberagaman. Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” mencerminkan komitmen negara untuk menghormati semua agama dan kepercayaan. Sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” menekankan pentingnya menghargai martabat manusia dan melawan segala bentuk penindasan. Namun, implementasi BPIP dalam beberapa kasus menunjukkan bahwa mereka tidak selalu mengikuti prinsip-prinsip tersebut.
Kasus terbaru yang menarik perhatian adalah pelarangan pasukan paskibraka mengenakan jilbab. BPIP, yang seharusnya menjadi pelindung dan pembina nilai-nilai Pancasila, malah menunjukkan tindakan yang kontraproduktif terhadap prinsip keberagaman yang dianut Pancasila. Dalam keputusan tersebut, BPIP menunjukkan sikap yang tampaknya tidak sensitif terhadap hak individu untuk menjalankan keyakinan agama mereka, terutama dalam konteks acara kenegaraan yang seharusnya mencerminkan semangat inklusivitas.
Pelarangan jilbab untuk pasukan paskibraka mengundang protes dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan akademisi dan masyarakat luas, yang menilai bahwa keputusan tersebut melanggar hak asasi manusia dan prinsip keberagaman. Jilbab, sebagai bagian dari identitas dan ekspresi agama bagi banyak perempuan Muslim di Indonesia, seharusnya dihormati dan diperbolehkan dalam berbagai konteks, termasuk dalam kegiatan kenegaraan. BPIP, seharusnya menjadi pelopor dalam menegakkan prinsip-prinsip Pancasila, tetapi sebaliknya malah terkesan mengekang kebebasan beragama yang merupakan salah satu aspek penting dari sila pertama.
Lebih jauh lagi, BPIP juga telah mendapat kritik karena berbagai kebijakan dan pernyataan yang dianggap tidak konsisten dengan semangat Pancasila. Beberapa inisiatif mereka dalam mempromosikan ideologi Pancasila kadang tampak lebih fokus pada penegakan norma-norma yang mengabaikan realitas keberagaman dan pluralitas masyarakat Indonesia. Ketidakmampuan BPIP untuk menjembatani perbedaan dan mempromosikan inklusivitas justru memperburuk persepsi publik terhadap lembaga ini.
Badan Pembina Ideologi Pancasila seharusnya bertindak sebagai penjaga dan pembina nilai-nilai Pancasila, tetapi kenyataannya lembaga ini seringkali menunjukkan ketidakmampuan dalam menyeimbangkan antara penegakan ideologi dan penghormatan terhadap hak-hak individu. Dengan adanya kasus-kasus seperti pelarangan jilbab, semakin jelas bahwa BPIP mungkin telah kehilangan arah dan tujuan utamanya.
Oleh karena itu, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap kinerja BPIP. Jika lembaga ini terus menunjukkan ketidakmampuan untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila secara konsisten, mungkin sudah saatnya untuk mempertimbangkan pembubaran atau reformasi besar-besaran terhadap lembaga ini. Tujuan utama adalah agar Pancasila dapat diterapkan secara efektif dalam kehidupan sehari-hari tanpa mengorbankan hak-hak individu dan keberagaman yang merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa Indonesia.