Opini

Bersyarikat

Oleh Achmad Hilal Madjdi

Seorang teman tiba- tiba bertanya kepada saya, mengapa penyebutan terhadap Muhammadiyah sering dengan “persyarikatan”. Bukankah ada istilah yang lebih eksis di masyarakat seperti organisasi atau jam’iyah yang barangkali dalam narasi orang awam terasa lebih mengena dan mudah dipahami.

Pertanyaan di atas bisa saja dijawab dengan jawaban sederhana karena memang suatu kata bisa saja memiliki makna sederhana. Namun bisa saja uraian jawaban atas pertanyaan itu tidak sederhana karena memang secara fungsional makna kata atau kalimat sangat tergantung pada konteksnya.

Dalam ilmu Bahasa, konteks sangat mempengaruhi interpretasi, pemahaman dan pemaknaan seseorang terhadap suatu tindak tutur. Bahkan suasana psikologis orang perorang juga bisa sangat menentukan bagaimana dia menginterpretasi, memahami dan memaknai sutu ujaran yang didengar atau suatu teks yang dibaca.

Artinya, selain konteks ada juga konsiderasi pribadi yang memiliki kontribusi signifikan terhadap pemaknaan suatu kata atau kalimat yang terekspresikan melalui tindak tutur lesan maupun tulis. Dengan kata lain, makna suatu kata atau kalimat sesungguhnya tergantung pada siapa yang memaknai, bukan pada kata atau kalimat itu sendiri.

Makna Eksistensial

Secara eksistensial, persyarikatan dengan semua sumber daya yang ada berada pada posesi semua orang yang bergabung di dalamnya. Secara vulgar ingin saya sampaikan bahwa kata persyarikatan memberikan sinyal makna tentang kepemilikan, keberadaan, posisi dan ikatan- ikatan yang ada pada persyarikatan itu.

Jadi, karena persyarikatan itu merupakan kata benda yang arti harfiahnya bisa dpahami sebagai tempat berkumpul, maka persyarikatan itu lalu menjadi milik bersama yang tentu saja harus dikelola bersama agar memberi kemanfaatan yang sama kepada para pihak.

Baca juga :  Joget Farel Membius Istana?

Jelaslah bahwa secara eksistensial suatu persyarikatan adalah milik bersama dengan model tata kelola yang disepakati bersama. Dalam konteks ini, tidak ada pemilik tunggal dan tentu tidak ada pula penguasa tunggal. Maka kata persyarikatan memberikan makna eksistensial yang sangat signifikan terhadap pola dan arah pergerakan para pihak yang bergabung dalam persyarikatan ini, terutama tentang bagaimana para pihak ini berhikmad di dalamya.

Dari makna eksistensial yang telah saya paparkaan di atas, tumbuh dan berkembang sistem tata kelola persyarikatan yang kemudian mengokohkan eksistensi sebagai suatu persyarikatan. Munculnya terminologi kolektif- kolegial merupakan contoh nyata tentang eksistensi suatu persyarikatan.

Sistem tata kelola yang kolektif dan kolegial kemudian menjadi suatu model tata kelola organisasi yang terus berkembang dan diandalkan sebagai suatu model tata kelola yang efektif untuk mengeliminir perilaku kepemimpinan otoriter.

Dari diskusi di atas dapat dimengerti bahwa makna eksistensial persyarikatan memberikan  pemahaman tentang keberadaan, kepemilikan dan tata kelolanya. Ketiga hal yang saya sebutkan di atas sekaligus menjadi indikator atas keteguhan dan keberlangsungan dari suatu komunitas yang disebut persyarikatan itu.

Makna Kultural

Keteguhan dan keberlangsungan suatu komunitas ternyata tergantung juga pada kultur atau budaya dari komunitas tersebut. Istilah budaya ini dinarasikan oleh Kilmann, Saxton & Serpa sebagai falsafah, ideologi nilai-nilai, anggapan keyakinan, harapan, sikap dan norma yang dimiliki bersama dan mengikat suatu masyarakat yang tergabung dalam komunitas tersebut. Narasi Kilmann dan kawan- kawan di atas memberikan eksplanasi bahwa segala nilai keyakinan dan perilaku dalam organisasi akan direfleksikan dalam berbagai aktivitas dalam ritme kerja yang sangat solid.

Baca juga :  Dari Sebuah Dialog, IMM Tegal Siap Berkomitmen

Dari makna kuktural itu muncul branding- branding atau labelling- labelling seputar persyarikatan yang bahkan menghasilkan klaim- klaim yang dilakukan pihak eksternal terhadap progress persyarikatan. Contoh paling nyata adalah munculnya keyakinan tentang kehandalan Muhammadiyah dalam memgelola rumah sakit, lembaga pendidikan dan terutama yang belakangan selalu ramai diperbincangkan, yaitu sociointerpreunarial.

Untuk kegiatan yang bertajuk kepedulian sosial, Muhammadiyah memang sampai saat ini belum tertandingi. Bahkan ketika akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan kegiatan sosial dipertanyakan, Muhammadiyah menjadi satu- satunya yang dilihat memiliki reputasi paling baik secara organisasional dan personal.

Maka jelaslah pula bahwa secara kultural, kata persyarikatan mengandung makna yang bahkan lebih menasbihkan karakter pergerakan. Sebagai pemilik nama yang secara harfiah dimengerti sebagai pengikut nabi Muhammad, pilihan kata persyarikatan terasa lebih proporsional dan tepat makna dibanding jika sekedar menyebut organisasi Muhammadiyah.

Terikat ketika Bersyarikat

Dalam mencermati dinamika orang- orang yang bersyarikat, rujukan paling sederhana adalah makna harfiah dari kata bersyarikat itu sendiri. Dakam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata bersyarikat merupakan kata kerja yang memiliki makna bersama-sama (bersekutu, bermufakat, bergabung) mendirikan sesuatu, bersekutu, berkawan dan bersahabat. Persekutuan, permufakatan, perkawanan, persahabatan dan pergabungan itu tentu saja diawali dengan niat/ tujuan yang sama untuk bersama- sama mencapai niat/ tujuan bersama tersebut disertai dengan “keterikatan” para pihak terhadap apa yang disepakati bersama.

Baca juga :  Kehadiran Ustadz Adi Hidayat dan Tantangan bagi Dakwah Salafi

Contoh yang paling sederhana bisa diambil dari kesepakatan para petani jagung dalam satu desa, misalnya, untuk mengolah hasil panen jagungnya menjadi makanan olahan. Artinya mereka bersepakat untuk tidak menjual jagung dalam bentuk biji atau masih bertongkol. Kesepakatan itu barangkali juga bisa menyangkut waktu- waktu produksi, tata cara pembuatan dan penjualan makanan olahan. Sukses atas permufakatan mereka juga akan ditentukan oleh seberapa kuat  mereka menjaga dan bersiteguh terhadap komitmen atas apa- apa yang mereka sepakati.

Dalam perjalanan dan dinamika persyarikatan mereka, tak aka nada yang berharap salah satu atau Sebagian dari mereka merujuk pada hasil- hasil keputusan kelompok lain yang bersyarikat dengan tujuan lain meskipun mungkin anggota komunitasnya sama – sama petni jagung.

Jadi, ketika seseorang telah menyatakan bersyarikat atau mengikuti suatu persyarikatan, ia pasti akan mengikatkan diri dengan segala sesuatu yang terkait dengan persyarikatan yang diikutinya, baik produk-produk sosial, ekonomi, hukum dan bahkan ideologi.

Dengan kata lain, keterikatan orang per orang dalam suatu persyarikatan sesungguhnya tidak bisa dianalogkan dengan kata- kata selain setia, berjalan dan berjuang Bersama serta mentaati kaidah – kaidah persyarikatan yang telah disepakati. Jika masih melihat jalan atau ingin memilih jalan lain, maka sebaiknya segera saja mengambil keputusan yang jelas bahwa ia akan berada di mana supaya dinamika persyarikatan tidak terganggu. 

Maka tidak aneh jika jauh sebelum diskursus keorganisasian berkembang seperti saat, mbah Kyai Dahlan sudah memberi “warning” yang sangat kita kenal, yaitu jangan duakan Muhammadiyah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *