Opini

Bentar Lagi Pilpres, eh Muktamar

Oleh Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo, Lc

Beberapa waktu lalu, beredar kabar Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komjen Pol. (Purn.) Firli Bahuri menyatakan tetap memperhatikan kasus kardus durian yang membebani Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar yang lebih dikenal sebagai Cak Imin. Kasus ini muncul sejak tahun 2011 dan cukup menyandera Cak Imin pada Pemilu 2014, begitu juga tahun 2019 dan kemungkinan demikian pada tahun 2024.

Seolah jika isu kasus kardus durian muncul, berarti momentum perhelatan pilpres sudah semakin dekat. Sebenarnya penulis bersimpati kepada Cak Imin yang karir politiknya tersandera dengan kasus kardus durian dan tidak kunjung diselesaikan. Bersama Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), PKB telah membentuk koalisi dengan tagline Kebangkitan Indonesia Raya.

Beberapa waktu lalu juga beredar isu di media sosial terkait seruan agar KPK memeriksa Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Puan Maharani. Padahal, hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), satu-satunya partai politik yang tidak perlu berkoalisi untuk mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres). PDIP jika mengusung Puan Maharani sebagai capres, harus memilih figur cawapres yang menjadi idola publik serta dikenal memiliki leadership yang baik dan bersih seperti figur Menko Polhukam Prof. M. Mahfud MD dan Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa.

Berbeda dengan PDIP yang tidak memiliki beban koalisi untuk menentukan figur capres-cawapres, Partai Nasional Demokrat (NasDem) yang telah mendeklarasikan Anies Rasyid Baswedan terasa harus tarik ulur dengan Partai Demokrat yang mengajukan ketua umumnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengajukan figur Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Ahmad Heryawan (Aher), Gubernur Jawa Barat 2008-2018. Sedangkan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang digagas oleh Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mulai goncang dengan isu pasangan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo – Gubenrur Jawa Barat Ridwan Kamil, seolah menggusur figur Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto yang saat ini menjabat sebagai Menko Perekonomian.

Baca juga :  Membumikan Islam Otentik

Hasil Pemilu 2019 di akhir perjalanannya menghasilkan komposisi kabinet yang mengakomodir Prabowo Subianto dan Sandiaga Shalahuddin Uno, rival Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin, sebagai menteri pertahanan dan menteri pariwisata merangkap kepala Badan Ekonomi Kreatif. Sejarah konflik politik umat manusia yang biasanya menghasilkan konflik yang tidak berkesudahan ternyata tidak berlaku di Indonesia. Kesadaran akan perlunya meningkatkan rasa kekeluargaan di tengah gejolak dunia, memperkuat rasa nasionalisme para tokoh bangsa saat ini.

Dinamika menjelang pemilu (pileg dan pilpres) yang digelar pada Februari 2024 nanti mulai terasa. Saling sandera dan saling sikut mulai terjadi. Sebagai anak bangsa, tentu kita berharap rasa kekeluargaan pasca perhelatan politik dan masa transisi Februari-Oktober 2024 nanti berlangsung lancar, aman dan tanpa gejolak.

Baca juga :  Risalah Ekologi Khas Muhammadiyah

Berbeda dengan sebelum 25 tahun lalu. Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan kemudian diadakan pemilihan wakil presiden. Rakyat hanya memilih partai politik, yang isi komposisi calon legislatif (caleg) di dalamnya ditentukan oleh partai politik yang tidak mewajibkan membukanya ke depan publik. Pada tahun 2004, terjadi perubahan besar. Rakyat tidak hanya dapat melihat daftar caleg, akan tetapi memilih capres-cawapres secara langsung. One man one vote, adalah hak politik rakyat yang dijamin oleh konstitusi. Tentunya telah menghasilkan dinamika politik yang saling menekan dan persaingan yang keras.

Berbeda dengan pemilihan ketua umum dalam Persyarikatan Muhammadiyah, para muktamirin bukan memilih figur akan tetapi memilih figur-figur sebagai tim formatur. Dalam istilah kitab-kitab klasik tim formatur disebut Ahlul Halli wal ‘Aqdi yang tidak hanya bertugas memilih ketua umum, akan tetapi juga menyusun struktur lengkap keorganisasian dan mempertanggung-jawabkan kinerja kepengurusannya di depan muktamirin pada muktamar selanjutnya. Maka tidak mengherankan jika pemilik suara terbanyak ternyata tidak menjadi ketua umum. Pada muktamar dekade 1940an, hasil mufakat tim formatur justru memilih figur KH Mas Mansur yang berasal dari luar tim formatur, sebagai ketua umum.

Beberapa waktu lalu muncul artikel di sebuah website adanya tekanan luar dalam hal ini disebut rezim pemerintah yang akan mengintervensi muktamar yang akan berlangsung dalam hitungan hari ke depan, dengan isu akan dijauhkannya sejumlah figur yang selama ini kritis kepada pemerintah agar tidak masuk dalam tim formatur. Tulisan tersebut berupaya memanaskan dinamika menjelang muktamar, akan tetapi sejumlah kader Muhammadiyah justru meng-counter tulisan tersebut dengan tulisan yang memunculkan sejumlah figur sebagai tim formatur dari kalangan tokoh-tokoh senior, penulis kolom hingga komika stand-up comedy, lulusan Sekolah Kader yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada tahun 1918.

Baca juga :  Kepemimpinan Keteladanan dalam Ber-Muhammadiyah

Adat bermuhammadiyah yang dibangun dalam kaderisasi kader-kadernya adalah tidak mencari jabatan dalam struktur organisasi akan tetapi jika diminta maka tidak menolak. Bahkan, jika dihadapkan pada 2 (dua) pilihan antara pekerjaan dengan kegiatan organisasi, maka didahulukan pekerjaan, karena pesan KH Ahmad Dahlan untuk menghidupi Muhammadiyah bukan mencari hidup dari Muhammadiyah.

Budaya Muhammadiyah tersebut menjadikan warga dan kader semakin mandiri serta kritis sehingga memiliki kebebasan dalam memilih pilihan politik termasuk bergabung dalam partai politik. Bahkan, para pimpinan dari tingkat pusat hingga ranting tidak akan mampu mengintervensi pilihan politik warganya. Tetapi jika berkaitan dengan urusan persyarikatan maka semua elemen akan berta’awun.

Artinya, budaya diskusi dan musyawarah untuk mencapai mufakat telah mengakar kuat dalam Persyarikatan Muhammadiyah. Keaneka-ragaman kader dan warga Muhammadiyah dapat dikonsolidasikan dengan budaya musyawarah untuk saling berta’awun dalam kebaikan dalam bingkai Muhammadiyah. Adapun dinamika dan kebhinekaan dalam Persyarikatan Muhammadiyah ternyata dapat saling mengisi dan mengkoreksi dalam bingkai kajian ilmiah yang alamiah.
Muktamar ke depan akan menjadikan kita bermuhammadiyah dengan semakin happy.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *