Oleh : Budi Nur Hidayanto, S.Pd
Beberapa waktu terahir kita sempat di hebohkan dengan status facebook seorang anggota Badan riset dan inovasi nasional. Polemik bermula dari status Facebook yang ditulis Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika BRIN, Thomas Djamaluddin. Mantan kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) itu heran dengan Muhammadiyah yang tidak taat kepada pemerintah terkait penentuan Lebaran 2023, namun ingin memakai lapangan untuk sholat Idul Fitri.
“Eh, masih minta difasilitasi tempat sholat Id. Pemerintah pun memberikan fasilitas,” ujar Thomas dalam status yang viral dikutip Republika.co.id di Jakarta, Senin (24/4/2023).
Lebih parah status ini kemudian di tanggapi oleh anak buahnya yang merupakan pakar astronomi BRIN, Andi Pangerang Hasanuddin. Melalui akun AP Hasanuddin, ia menuliskan kemarahan atas sikap Muhammadiyah dengan me-mention akun Ahmad Fauzan S.
Peneliti BRIN AP Hasanuddin menulis status viral, “Sini saya bunuh kalian satu-satu.
“Kalian Muhammadiyah, meski masih jadi saudara seiman kami, rekan diskusi lintas keilmuan tapi kalian sudah kami anggap jadi musuh bersama dalam hal anti-TBC (takhayul, bidah, churofat) dan keilmuan progresif yang masih egosektoral. Buat apa kalian berbangga-bangga punya masjid, panti, sekolah, dan rumah sakit yang lebih banyak dibandingkan kami kalau hanya egosentris dan egosektoral saja?” kata Hasanuddin.
Kejadian ini menggambarkan betapa melesetnya tuduhan beberapa pihak yang mengatakan bahwa radikalisme tumbuh di lingkungan pesantren, rohis dan pengajian pengajian. Lebih jauh dari kasus ini kita di bukakan tabir bahwa radikalisme malah subur tumbuh di lingkungan pemerintah yang di gawangi oleh megawati tersebut.
Dalam kasus ini radikalisme dan sikap intoleran dan arogansi malah di tunjukan oleh pejabat pemerintah yang berpendidikan tinggi dan bergelar profesor. Dari kasus ini juga kita bisa menilai betapa gagapnya pemerintah dalam mengidentikan radikalisme dengan status ekonomi, agama dan pendidikam renda jelas salah besar. Malahan radikalisme yang di tunjukan berasal dari seorang berpendidikan tinggi, ber ekonomi mapan dan dari internal pemerintahan.
Yang jelas dari kasus ini menjadi sebuah cambuk bagi pemerintah untuk bisa melihat kembali devinisi radikalisme dan intoleransi bagi para pegawai pemerintahan khususnya. BRIN seharusnya merupakan lembaga yang menampakan disi intelektualitas dan menghargai perbedaan pandangan.