Oleh : Dr. Tafsir Ketua PWM Disampaikan saat Konsolidasi PWM Jateng)
(Studi Kasus Dakwah Plompong, Kaliwungu, Dan Jatinom)
Dakwah itu merangkul bukan memukul, Mengajak Bukan Menginjak. Saatnya Dai Muhammadiyah berfikir jumlah kepala dengan potensi isi kepalanya.
Saat gempa Klaten, Saya coba penelitian suasana keberagamaan. Di tengah bencana, terinspirasi sebuah tulisan di tembok saat gempa, “Tuhan, Engkau dimana?”
Demikian juga disertasi saya coba mengangkat Strategi Dakwah di Plompong Brebes, Kaliwungu, dan Jatinom.
Berikut sedikit Ulasannya..
Di Plompong, sebuah desa yang berada di tengah hutan, masyarakat mayoritas Petani. Dan Muhammadiyah berkembang dengan pesat. Memiliki amal usaha yang komplit. Padahal mayoritas petani, dan petanilah yang banyak melakukan SLAMETAN. Beda Dengan ASN yang gajinya sudah pasti tanggalnya.
Pelaku Slametan mayoritas orang Muhammadiyah di Plompong. Kenapa bisa diterima dakwah Muhammadiyah di sana. Diantaranya memang kearifan lokal suasana sosialogis masyarakat dipahami dengan baik oleh para Aktivis Muhammadiyah. Termasuk dalam Seni Merangkul masyarakat demgan Kesenian. Di tahun itu aktifis Muhammadiyah Ada yang bisa musik Melayu. Memiliki group Orkes Melayu, kalau sekarang dangdut lah. Dan menjadi Kebanggaan warga Plompong.
Hingga dakwah Berjalan dan Muhammadiyah diterima dan berkembang di sana. Ya, kalau ketanggor Ustad yang Kullu bid”atin Dholalah, Ya Pasti Tidak tidak akan seperti sekarang.
Lain Cerita di Kaliwungu. Kalau disini Muhammadiyah berada di tengah tengah mayoritas NU. Bisa dikatakan masyarakat batuk saja pasti bunyinya NU (Guyonan Ustad Tafsir). Tapi kenapa Muhammadiyah bisa berkembang ditengah himpitan mayoritas? Ternyata di tahun 50-an Pemuda Muhammadiyah memiliki group drumband. Dan group drumband ini benar benar menjadi kebanggaan. Meski Banser, bangga jadi dan ikut group drumband ini. Dari sini pertalian emosi terjadi hingga di Kaliwungu Muhammadiyah bisa eksis dan berkembang.
Lain cerita Plompong, Kaliwungu adalah Jatinom Klaten. Dimana harmoni tradisi Yoqowiyu, tradisi sebar apem yang diyakini masyarakat dapat 3 (satu di taruh di dompet, satu di taruh di lumbung padi dan satu di kebun). Masjid yang digunakan sabagai tempat acara adalah masjid Muhammadiyah dan yang nyebar apem adalah Ketua PCM. Dan ini berlangsung sampai sekarang.
Dari sini bisa kita simpulkan 2 hal yang bisa sebagai sarana mengumpulkan warga yakni : Tumpeng, dan Bedug. Tumpeng/ Ketupat simbul makanan. Masyarakat akan mudah kumpul jika ada makan. yang kedua Bedug adalah simbol musik. Masyarakat mudah tergerak bila ada hiburannya.
Hal semacam inilah yang memang Mubaligh Muhammadiyah bisa pahami. Dalam metode strategi merangkul. Memahami suasana sosialogis masyarakat.
Saatnya butuh jumlah kepala dengan isi kepala.
Seni sebagai sarana dakwah bisa dimanfaatkan, mengingat warga Muhammadiyah itu sedikit.
Dirangkum oleh Pujiono,
Unimus , 3 Desember 2023