OpiniUncategorized

BANJIR DI JATI WETAN : MENGELOLA KEARIFAN LOKAL SEBAGAI STRATEGI DALAM MENGHADAPI STRESS

Penulis : Rindho Satriyo Hutomo ( Mahasiswa Fakultas Psikologi Univertas Muria Kudus)

Banjir merupakan peristiwa meluapnya air yang menggenangi permukaan tanah,dengan ketinggian melebihi batas normal. Bencana banjir mengakibatkan hilangnya nyawa, kerugian harta benda bahkan melumpuhkan perekonomian hingga pemerintahan (PMI Pusat,2008). Data dari Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan Indonesia menunjukkan
bahwa kecenderungan bencana di Indonesia terus meningkat yakni 691 kejadian bencana yang tercatat pada tahun 2005 dan 2.232 kejadian bencana yang terjadi pada tahun 2010 (Mahsyar, 2013: 2).

Dalam kurun waktu 1980 sampai 2009, sedikitnya terdapat 18 juta warga di Indonesia terkena dampak bencana, diantaranya adalah anak, remaja, pemuda, dan tenaga pendidik. Data bencana tahun 2002 sampai 2011 menyatakan bahwa bencana di Indonesia didominasi oleh bencana hidrometeorologi, seperti banjir, banjir bandang, kekeringan, tanah longsor, putting beliung, dan gelombang pasang. Sedangkan bencana geologi seperti gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi tetap menjadi ancaman di beberapa wilayah (Mahsyar, 2013).

Banjir terjadi pada hari Senin, 20 Januari 2022 sampai tanggal 17 Februari 2022 di Desa Jati Wetan Kecamatan Jati Kabupaten Kudus khususnya di RW 3. Banjir terjadi karena curah hujan yang sangat tinggi dan sungai penampung air sudah tidak bisa lagi menampung debit air sehingga menyebabkan banjir yang lama. Desa yang pada mulanya begitu aman, tentram dan dinamis dalam waktu sekejap menjadi seperti lautan. Seluruh bagian dan sektor kehidupan macet dan mengalami kelumpuhan total. Mulai dari sektor pendidikan, sosial, agama maupun budaya. Menurut Qardhawi, (1989) yang dimaksud dengan cobaan adalah cobaan umum yang menimpa hati dengan ketakutan, cobaan juga bisa di artikan ketika kita terkena benana seperti banjir dan seterusnya. Jika kondisi tersebut tidak diatasi akan menyebabkan stress pada individu tersebut. Stress menjadi ungkapan dan istilah yang paling sering didengar dalam kehidupan sehari-hari, dalam kehidupan pribadi, keluarga, bahkan dalam kehidupan bermasyarakat hampir setiap orang tidak dapat menghindarkan diri dari kemungkinan mengalami stres. Hawari (1997) stres merupakan “reaksi fisik terhadap permasalahan kehidupan yang dialaminya”. Taylor, (2003) mengartikan stres sebagai “pengalaman emosional yang negatif yang disertai perubahan-perubahan biokimia, fisik, kognitif, dan tingkah laku yang diarahkan untuk mengubah peristiwa stres tersebut atau mengakomodasi dampak-dampaknya”.

Strategy coping stress yang dilakukan warga yang selamat dari banjir di desa jati wetan adalah mengelola kearifan lokal yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal erat kaitannya dengan kebiasaan dan budaya lokal yang masih berlaku secara umum di desa jati wetan. Kearifan tersebut mencakup kegiatan tolong menolong antar sesama warga dan gotong royong, berbagi peran menurut gender, dan memberikan prioritas bantuan pada warga yang lebih membutuhkan. Kearifan lokal mempunyai peran yang signifikan dalam pemenuhan kebutuhan dasar korban bencana, terutama pada masa-masa kritis, pada hari kejadian banjir dan dua- tiga hari setelah kejadian ketika bantuan dari pemerintah kota dan desa lainnya belum tiba di lokasi-lokasi banjir. (Hidayati dkk, 2011 dan Widayatun dan Hidayati, 2011).

Baca juga :  IMM Al Fikr UMK Ingin Wujudkan Kader yang Berkemajuan

Tolong menolong dan gotong royong antar sesama warga merupakan kebiasaan budaya masyarakat Jawa (Baiquni, 2009; Ikaputra, 2009), termasuk di desa jati wetan yang masih terus berlangsung hingga saat ini.Tolong menolong biasanya dilakukaan antar warga untuk keperluan individual/perseorangan, baik yang sifatnya menyenangkan maupun menyedihkan. Tolong menolong seringkali dilakukan untuk persiapan dan kegiatan pesta, seperti perkawinan, sunatan dan tujuh bulanan bagi perempuan yang sedang hamil. Sebaliknya, tolong menolong juga dilakukan untuk peristiwa-peristiwa yang menyedihkan, seperti kematian dan kesusahan ketika mendapat musibah karena kecelakaan atau kematian. Selain itu, kegiatan tolong menolong juga dilaksanakan untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti pembangunan rumah. Kegiatan tolong menolong yang dilakukan oleh kelompok-kelompok warga ini tersebar dihampir semua lokasi bencana banjir di desa jati wetan. Kelompok-kelompok warga ini umumnya adalah tetangga se RT (Rukun tetangga) dan/atau se dukuh/dusun. Dalam kondisi darurat bencana, warga yang punya persediaan bahan makanan yang masih dapat dimanfaatkan memberikan miliknya untuk dimasak dan dimakan bersama-sama. Mereka mencari beras atau mie instan yang masih dapat digunakan dari rumahnya yang tergenang air.. Warga yang punya warung sembako, seperti di dukuh gendok, barisan, dan tanggulangin RW 3, jati wetan mempersilahkan sebagian barang-barang dagangannya, seperti beras dan mie instan, untuk dimasak dan dimakan bersama. Gambaran serupa juga terjadi di Dukuh barisan, Desa jati wetan, Kecamatan jati, warga bersama-sama mengumpulkan sisa-sisa beras yang terkena air banjir tetapi masih dapat dimanfaatkan untuk dimasak dan dimakan bersama-sama.

Baca juga :  Muhammadiyah Besar bukan Karena Sokongan Rezim

Bentuk strategy coping stress warga desa jati wetan yang juga sangat bermakna dalam pengurangan resiko bencana adalah kesepakatan warga untuk memberikan prioritas bantuan kepada warga yang lebih membutuhkan, seperti kelompok rentan (bayi, balita dan anak-anak, lansia, korban luka/sakit dan ibu-ibu), keluarga dengan kepala keluarga (KK) perempuan, dan keluarga miskin. Prioritas ini berlaku dalam pemberian bantuan pangan maupun penyediaan tenda-tenda atau posko-posko berlindung sementara. Hidayati (2012) menginformasikan bahwa distribusi bantuan pangan lebih diutamakan untuk warga yang lebih membutuhkan, seperti keluarga yang punya balita, anak-anak dan lansia, keluarga yang kepala keluarganya (KK) perempuan atau janda dan keluarga miskin. Gambaran ini tidak secara langsung mengindikasikan akses keluarga dengan KK perempuan terhadap bantuan lebih tinggi daripada keluarga dengan KK laki- laki, karena setiap keluarga korban bencana mempunyai akses yang sama terhadap bantuan pangan. Pembagian dilakukan secara merata per RT. Di Dukuh tanggul angin RW 3, Desa jati wetan, Kecamatan jati, misalnya, bantuan yang diterima dibagi menjadi 3 (karena di dukuh ini terdapat 7 RT). Ketika dusun ini mendapat 20 dus mie instan, maka mie tersebut di bagi 7, masing-masing RT mendapat 2 dus mie dan sisa 6 dus disimpan dulu di Posko, menunggu bantuan lagi. Mie akan dibagikan lagi apabila jumlahnya sudah dapat dibagi 3 per RT. Setiap keluarga mendapat mie yang sama, namun keluarga yang anggota keluarganya termasuk kelompok rentan dan keluarga dengan
kepala keluarga (KK) perempuan memperoleh bantuan lebih dulu dari keluarga dengan KK laki-laki, karena mereka dianggap lebih membutuhkan.

Strategi lain yang dilakukan warga desa jati wetan mengatasi kondisi sulit pada masa darurat bencana adalah mendirikan “poskoposko”. Warga disuatu lingkungan,beberapa Kepala Keluarga atau warga satu RT membangun tenda yang digunakan bersama dan berfungsi sebagai suatu posko kecil. Kegiatan serupa juga dilakukan oleh warga-warga dari lingkungan atau RT-RT yang lain, sehingga terdapat banyak posko kecil-kecil. Posko-posko kecil ini digunakan oleh kelompok-kelompok kecil warga untuk mengatasi permasalahan yang timbul pasca banjir. Posko-posko ini multi fungsi, termasuk tempat pengumpulan, pembagian dan distribusi bahan makanan, tenda-tenda dan berbagai jenis bantuan lainnya. Masing-masing posko mengelola kebutuhan dan potensinya secara bersama-sama dalam kelompok yang kecil yang „dikoordinasi‟ oleh „seorang atau beberapa warga‟. Emergencymanagement ini sangat mendukung warga dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, terutama makan dan tempat berteduh serta pelayanan kesehatan, karena warga yang ada pada masing-masing posko jumlahnya terbatas. Namun karena jumlahnya banyak, posko kecil-kecil ini menjadi kurang efektif terutama setelah bantuan dari pemerintah datang dan mendirikan posko induk dan posko-posko berskala besar dan ketika penerimaan dan pendistribusian bantuan diatur oleh posko induk dan posko-posko besar tersebut.

Baca juga :  Tim KKN UMK 21 Perkenalkan Puding Kacang Hijau Kaya Gizi untuk Balita di Desa Bringinwareng, Pati, Jawa Tengah

Kelembagaan masyarakat, baik di tingkat RT, RW, Pedukuhan/dusun dan desa/kelurahan mempunyai kapasitas yang tinggi dan memainkan peran kunci terutama dalam menggerakkan masyarakat, terutama pada saat terjadi dan beberapa hari setelah banjir. Peran kelembagaan lokal ini didukung oleh masih kuatnya kearifan lokal yang diindikasikan oleh masih aktifnya kegiatan tolong menolong dan gotong royong, masih tingginya “rasa kebersamaan dalam menghadapi musibah” dan “rasa kepedulian terhadap warga yang lebih membutuhkan perhatian”, “mau berbagi dan bertenggang rasa”. Kearifan ini merupakan modal sosial yang sangat „berharga dan bermakna‟ untuk memenuhi kebutuhan dasar warga yang selamat dan mengurangi resiko dari dampak ikutan bencana di desa ini. Strategy Coping Stress yang dilakukan masyarakat desa jati wetan dalam menghadapi bencana banjir memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi masyarakat Indonesia yang rentan terhadap bencana alam. Upaya-upaya yang dilakukan masyarakat „berakar‟ dari kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari, seperti kebiasaan tolong menolong, saling membantu sesama warga yang membutuhkan, gotong royong untuk kepentingan bersama, empati dan kebiasaan warga dalam menggalang persiapan berupa asset dan akses, seperti inventaris peralatan masak dan makan serta tenda, sangat membantu warga dalam memenuhi kebutuhan bersama dan menghadapi situasi dan kondisi yang sangat sulit pada masa darurat bencana. Upaya-upaya yang dilakukan warga desa jati wetan mengindikasikan upaya kemandirian warga dan upaya ini sangat diperlukan dalam pemenuhan kebutuhan dasar dan mobilisasi sumber daya masyarakat. Modal sosial yang berkembang di masyarakat ini perlu dipertahankan dan ditumbuh-kembangkan, serta dijadikan contoh bagi daerah-daerah lain di Indonesia yang rawan terhadap bencana alam. Revitalisasi kearifan lokal dan peningkatan kapasitas kelembagaan lokal, baik formal maupun informal, sangat diperlukan, utamanya untuk mendukung upaya masyarakat dalam meningkatkan kesiapsiagaan dan mengurangi resiko apabila terjadi bencana alam.

Editor : Z (Redaksi Muriamu)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *