Oleh : Wildan Sule Man*
Ketika hari ulang tahun kemerdekaan tiba, warga kampung saya melakukan kerja bakti, salah satunya adalah memotong bambu dikebun. Berkat aktivitas itu, bambu bambu itu seakan bergerak, ber”migrasi” dari kebun kebun menuju kampung kampung dan jalanan desa.
“Migrasi” para bambu tak lain adalah untuk, pertama, bertugas menopang tegap dan gagahnya kibaran bendera dwiwarna dan umbul umbul di sepanjang jalan. Kedua, dimanfaatkan sebagai gapura yang berdiri dijalan masuk gang. Ketiga, bambu menjelma menjadi petasan meriam yang menggelegar alias “mercon bumbung” saat karnaval tiba nanti.
Dan disaat itulah saya mulai mencermati bahwa bambu semakin menjelaskan jati dirinya sebagai tanaman penting. Yang kemudian dalam filosofi bambu dijelaskan, saat berada dikebun, bambu merasa nyaman saling berdekatan satu dengan yang lain, tumbuh meninggi, menyiur nyiur syahdu ke kanan dan ke kiri saat diterpa angin, dan kadang memunculkan suara khas saat bergesekan dengan lainnya. Tapi sayangnya diantara gagahnya bambu bambu itu, Tak ada yang luar biasa tatkala orang orang melihat mereka.
Beda keadaanya bila satu saja bambu akan digunakan. Hal yang cukup unik dapat kita saksikan, bambu akan dipotong dengan pedang tajam, jika sudah putus ia akan ditarik tarik sekuat tenaga sebab ia masih tersangkut dengan bambu bambu yang lain, setelah berhasil dirobohkan ke tanah segera dipotong potong sesuai ukuran dan kegunaan yang dikehendaki, lalu disisik supaya halus, kemudian digergaji dan tentu terasa “pedih”.
Tapi rasa “pedih” dari perlakuan itu, Laksana penggembelengan untuk lebih meng”kualitas”kan sang bambu sendiri, mengubah dirinya kepada kondisi penuh ketegaran dan keteguhan serta derajat yang meninggi, ia akan naik pangkat dengan dipasang di sepanjang jalan sebagai penyangga sang saka merah putih tatkala merayakan hari kemerdekaan.
Sedang dalam kesempatan lain, bumbu bisa diproduksi sebagai brongsong yang berperan sebagai “pelindung” buah buahan dari serangan codot, ia juga dapat dimanfaatkan sebagai tangga yang berfungsi untuk memudahkan orang dalam panjat memanjat, dengan bambu kecil dibuatlah seruling yang sanggup mengeluarkan suara indah.
Bambu besar dapat diproduksi menjadi “reng” dan “usuk” tempat genting genting bersandar sebagai instrumen penting sebuah bangunan rumah, berperan pula sebagai pancuran, pagar taman, gazebo, besek, keranjang, kurungan ayam, sangkar burung serta masih banyak lagi.
Perjuangan kemerdekaan dahulu kala juga tak lepas pula dari peran bambu, yakni bambu runcing, nampaknya bambu yang dipotong dan diruncingi ujungnya ini semakin memantapkan identitas bambu.
Tak main main mereka berperan sebagai senjata para prajurit rakyat melawan penjajah. Dengan sebilah bambu inilah ada semacam semangat, terdapat ghirah, dijumpai spirit jihad. Dan mereka tetap optimis walau bambu runcing tak secanggih senapan musuh, namun upaya perlawanan dengan senjata sederhana itu tak menyurutkan langkah para pejuang untuk tetap maju bertempur demi kemerdekaan bangsa.
Patut disyukuri sekarang negara Kita telah merdeka, tujuh puluh tujuh tahun umur kemerdekaan itu. Bambu runcing telah menjadi warisan sejarah yang perlu kita ambil mandat mandatnya, saat ini bambu bambu tetaplah tumbuh subur dibumi pertiwi, dan banyak jenisnya, ada bambu apus, bambu petung, bambu ampel, bambu legi, bambu tulup, bambu gendani dan bambu wulung. Bambu bambu itu tentu saja disediakan Tuhan untuk generasi baru, pertanyaanya kemudian. Siapkah generasi muda mengolah kekayaan alam berupa bambu bambu ini?
Pikiran sederhana saya tiba tiba muncul mencermati pertanyaan diatas, yang lantas menjelma menjadi sebuah jawaban yang cukup sederhana. Pertama, ayo ber-aksi-lah tangan tangan terampil kalian dengan menghasilkan forniture kelas dunia berbahan bambu bambu, jajanan jajanan nikmat sahabat lingkungan dengan menyediakan layanan gelas dan sedotan bernuansa bambu bambu, Mendongkrak produk mainan tradisional dengan berbahan bambu bambu. Saya Optimis generasi muda kita siap, Wallahu A’lam bishowab.
*Penulis amatir.