Opini

Amplop

Oleh : Heri Iskandar*

“Amplop-amplop di negeri amplop

mengatur dengan teratur

hal-hal yang tak teratur menjadi teratur

hal-hal yang teratur menjadi tak teratur

memutuskan putusan yang tak putus

membatalkan putusan yang sudah putus

Amplop-amplop menguasai penguasa

dan mengendalikan orang-orang biasa

Amplop-amplop membeberkan dan menyembunyikan

mencairkan dan membekukan

mengganjal dan melicinkan”

Ini adalah penggalan syair puisi oleh Kyai Mustofa Bisri, seorang putra dari Kyai Bisri Mustofa Rembang.

Urusan amplop memang harus dipandang dari sudut yang sesuai, amplop bisa juga disebut gratifikasi, suap, dan pelicin, tapi amplop dapat juga berisi sedekah, amal, dan bisyaroh, dalam artian adalah bebungah dalam bahasa jawanya.

Bahasa amplop sudah dikenal sejak zaman dahulu, amplop adalah hanya sebuah kertas berlipat untuk menaruh sesuatu yang penting di dalamnya.

Namun dalam masyarakat amplop sudah dikenal dengan bahasa konotasi berarti isi yang ada didalamnya.

Baca juga :  Koboi Jalanan

Kita sepakat dan mengetahui hukumnya apabila amplop itu diberikan untuk kepentingan sesuatu, agar urusan yang tidak teratur menjadi teratur, memutuskan atau membatalkan keputusan demi hawa nafsu, serta mengendalikan urusan untuk urusan pribadi kita itu adalah bentuk risywah, alias suap, dan hukumnya jelas di larang dalam agama.

Namun apabila amplop itu adalah rasa terimakasih sebagai bisyaroh atau bebungah maka hal itu diperkenankan.

Amplop yang diperbolehkan bisa juga wajib adanya apabila kita melihat kaum termarginalkan yang hidup di bawah garis kemiskinan, para kaum dhuafa yang butuh untuk meneruskan hidupnya, Yatim dan piatu yang menyongsong masa depannya dan orang-orang terkena musibah serta perlu uluran kasih sayang yang kita berikan dari tangan kita pribadi atau atas nama organisasi.

Amplop yang diperbolehkan selanjutnya adalah kategori bisyaroh, dalam dunia pesantren tradisional tidak dikenal nama gaji atau honor bagi ustad atau gaji dalam mengajar, namun diganti dengan nama bisyaroh yang berarti “apresiasi atau khidmat yang telah diberikan”.

Baca juga :  Representatif dari Perwakilan Cabang

Lalu sebesar apa dan berapa nilainya?

Andaikan kita pribadi dibantu oleh sesorang dalam urusan tertentu dan kita ingin memberi ganti sebagai pengganti waktu dan tenaganya maka besaranya tergantung dari diri kita dan layaknya di masyarakat, seperti halnya ketika kita hadir di acara tasyakuran pernikaan, sunatan dan lain sebagainya, isi amplop kita tergantung dari kita dan pada umumnya.

Namun berapakah besaran yang kita berikan untuk guru ustad dan para mubaligh penyampai ilmu agama?

Bisyaroh ini biasanya diberikan oleh organisasi atau kelompok, jamaah ataupun komunitas sesuai kemampuan keuanganya dan kadar yang layak di masyarakat.

Sebagian guru ngaji karena ingin berkhidmat di jalan agama dan kemampuan ekonominya mencukupi, bisyaroh ini lebih berarti untuk dikembalikan kepada pemberinya daripada diterima.

Baca juga :  Mensucikan Hati (Nafs)

Tapi kita harus berpikir dan menghargai ilmu yang diberikannya dengan cara memperhatikan kehidupan dari para guru ngaji kita.

Ada yang menjadi guru di sekolah swasta, ada sebagai karyawan biasa, ada pedagang kelilingan, dan ada juga menjadi tukang dan bahkan guru ngaji yang membuka toko sambil menjual bensin eceran seperti kisah pak AR. Fakhrudin.

Saatnya kita menyadari bahwa para mubaligh atau guru ngaji kita adalah aset agama, yang dari situlah sebagai penyambung ilmu agama bak pipa air, kita dapat menikmati air bersih dan murni karena adanya pipa yang mengalirkanya.

Mari kita bersyukur dan merawatnya, serta perbanyak kader agar kita tidak kekeringan di dunia ini dengan cara memperhatikanya.

“Dan sungguh orang-orang yang bersyukur akan kami beri ganjaran” (QS. Al Imran: 145).

jum’at barokah

*Penulis adalah Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Bae, Kudus

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *