Opini

Akuntabilitas Bantuan Tunai Pemerintah

Oleh : Siti Marhamah*

Pemberitaan yang masif tentang rencana pemerintah untuk menyalurkan bantuan tunai mengingatkanku tentang pengalaman kena “prank” bantuan presiden.

Ceritanya beberapa waktu lalu aku mengurus mobile banking rekening yang udah lama ngga diurus. Mobile banking pada umumnya akan otomatis menampilkan seluruh akun yang kita miliki di Bank tersebut (berbasis NIK): tabungan, deposito, kartu kredit dll. Naah, saat aplikasi BNI mobile bankingku tersetting, surprise banget di sana ada 2 rekening selain rekening yang secara sadar aku miliki.

Ketika aku bertanya ke customer service bank terkait 2 rekening baru tersebut, menurut informasi dari Mas CS, itu adalah rekening yang dibuat oleh pemerintah untuk menyalurkan Bantuan Presiden untuk UMKM. Dan karena aku tidak mengambilnya dalam waktu 3 bulan, uangnya kembali ke pemerintah.

Lhadalaaahh, aku lho ngga pernah bikin UMKM, kok bisa-bisanya menjadi penerima Banpres UMKM. Setelah aku cek di mutasi rekening, nominalnya Rp. 1 juta di masing-masing rekening. Yaahhh sayang dong ya, 2 juta hilang begitu saja. Coba ada pemberitahuan kalau aku merupakan penerima Banpres, kan lumayan tuh 2 juta buat jajan seblak :(.

Dari pengalaman pribadi itu, kalau boleh menyimpulkan, bantuan presiden itu sangat TIDAK akuntabel. Maaf ya, bukan kurang, tapi TIDAK. Eh tapi sebentar, apakah Banpres itu pakai uang negara atau uang Pak Presiden sendiri?
Kalau pake duit dari kantong Pak Presiden sendiri ya ributnya sampai sini saja. Suka-suka Pak Presiden mau kasih bantuan ke siapa saja yang beliau kehendaki. Tapi jika bantuan itu menggunakan uang negara, yang diambil dari pajak kita kita, atau bahkan jika itu diambil dari utang respon Covid yang ratusan T itu, ya jangan gitu dong Pak, please…

Kenapa aku menyimpulkan bantuan itu blas ngga akuntabel? Setidaknya ada 2 alasan. Yang pertama, ketidakjelasan kriteria penerima bantuan. Kira-kira kriteria seperti apa yang membuat aku bisa masuk menjadi salah satu penerima? Fakir Miskin? Alhamdulillah tidak. Pelaku UMKM juga bukan. Kecuali jika orang-orang yang keranjang shopeenya 99+ tapi tidak check out2 karena tidak punya cukup uang termasuk dalam kategori vulnerable yang layak diberi santunan oleh negara, nah mungkin aku salah satunya.

Karena walaupun aku butuh uang, tapi masih lebih banyak yang lebih pantas dibantu langsung oleh Presiden. Alasan ke dua adalah, tidak ada pemberitahuan resmi siapa saja yang menerima, dan tidak ada pemberitahuan langsung kepada calon penerima bantuan. Ini yang menyebabkan aku merasa kayak kena prank, tahu dapat bantuan subsidi jajan seblak dan check out shopee, tapi ngga jadi karena aku ngga segera ngambil duitnya, dianggapnya ngga mau duit πŸ˜…. Duh Pak Joko, orang mana yang ngga mau duit wkwkkw.

Baca juga :  Joget Farel Membius Istana?

Aku secara pribadi termasuk yang sangat sangat setuju pemerintah memberi bantuan uang kepada orang-orang yang memang butuh dibantu, dibanding ngasih bantuan barang.

Tiga tahun terakhir ini aku sedang semangat-semangatnya belajar tentang Cash and Voucher Assistance dalam Bantuan Kemanusiaan. Memberikan bantuan dalam bentuk tunai saat ini lebih banyak direkomendasikan daripada memberi bantuan berupa barang. Ada banyak keuntungan dengan memberi bantuan dalam bentuk uang, antara lain adalah penerima bantuan memiliki keleluasaan untuk membelanjakan bantuan sesuai pola konsumsi di keluarganya.

Masih ingat Ibu mensos bagi-bagi telur rebus di Jakarta? Kalo boleh nyinyir itu adalah bantuan paling dagelan yang pernah aku tau. Apakah semua keluarga butuh telur rebus? Gimana kalo anggota keluarga ada yang alergi telur? Lain jika keluarga diberi bantuan tunai atau voucher, keluarga jadi memiliki keleluasaan untuk memilih sumber protein sesuai preferensinya.

Selain fleksibel dan memberi keleluasaan pada penerima bantuan untuk mencukupi kebutuhannya, bantuan tunai juga lebih mudah dalam hal distribusi. Aku masih kepikiran soal mbagi-mbagi telur rebus itu. Begitu banyak kelelahan-kelelahan pengelola bantuan yang sebenernya tidak perlu, seperti: belanja telur, nyuci telurnya, ngerebus telurnya, distribusi yang harus cepat karna kalau terlambat bisa basi. Gimana kalo penerima bantuan telur rebus dapat telur yang busuk atau basi? Ke mana nukernya? Bisa milih yang rebusannya setengah mateng ngga? Yang kuningnya melted gitu kalo dibelah, minta yang masih anget sekalian garam dan lada bubuknya haha ngelunjak yak 😁😁. Atau bolehkah komplain?

Heleh wes dikei gratisan ae lho nganggo komplain barang wkwkwk, padahal beli telur bukan pakek uang Bu Mensos, tapi uang rakyat, ya uangnya penerima telur rebus itu, Bu Mensos cuma menerima mandat mengelola uangnya rakyat.

Keribetan ngurus telur tidak akan terjadi kalau bantuan diberikan dalam bentuk uang atau voucher belanja. Bantuan tunai tidak butuh gudang dan biaya distribusi yang mahal. Masih ingat kan beras rusak yang dikubur di gudang JNE? Atau kisruh korupsi pengadaan bansos Juliari Batubara? Itu tidak akan terjadi jika bantuan diberikan tidak berupa barang.

Baca juga :  Bersyarikat

Ada risiko lain yang menyertai ketika pemerintah “reko-reko” bagi-bagi sembako, yaitu ngobrak abrik sistem pasar. Kebayang kan kalo bu Mensos bagi-bagi telur terus-terusan. Pedagang maksubah dan lapis surabaya langsung gulung tikar karena harga telur jadi ngga stabil karena telurnya diborong Bu Mensos. Kalau pemerintah bagi-bagi beras, kasihan pedagang berasnya dong jadi ngga laku.

Ini juga terjadi dalam konteks respon bencana, Lumajang misalnya, ketika warga dengan sangat antusias datang langsung ke lokasi membawa indomie dan beras. Padahal di area terdampak pasar mulai kembali bergeliat ehhh ngga jadi gara-gara banyak yang datang langsung bawa bantuan barang. Maunya membantu tapi malah bikin kisruh.

Mulane caaah, kalo ada bencana ngga usah repot2 belanja barang untuk bantuan. Bantu uang aja melalui MDMC/LazisMu (iklan lewat inih wkwkkw) karena membantu itu ngga segampang dropping logistik. Tapi ya ada perencanaan, kapan bantuan barang sudah tidak diperlukan lagi agar masyarakat terdampak bisa segera hidup normal dan ngga ngandalin bantuan orang terus terusan.

Kebayang kan sekarang seperti apa ribetnya ngurus bantuan barang? Tapi sepertinya Bu Mensos merasa belum bekerja kalo “hanya” membagi uang. Di acara Milad Nasyiatul Aisyiyah beberapa waktu lalu yang menghadirkan Bu Mensos, beliau sendiri bilang kalau mensos bagi uang itu kok kayak sekedar jadi kasir. Aku lupa persis kalimatnya gimana tapi kurang lebih seperti itu, videonya ada di Youtubenya Nasyiatul Aisyiyah silakan ditonton.

Dari statement Bu Mensos itu, bisa jadi beliau memang sangat puas dengan pencapaian beliau dalam hal membagi-bagikan telur di Jakarta itu. Padahal aku yang di Jogja juga nunggu pembagian telur rebus yang dibalur dengan adonan ikan tengiri, dan diberi kuah cuko dan irisan mentimun 🀭🀭🀭.

Selain kecewa karena tidak mendapat jatah telur rebus dari Bu Mensos, aku juga kecewa dengan cara pandang Bu Mensos yang seolah-olah memandang bagi-bagi uang itu terlalu sepele untuk sekelas menteri. Padahal jika bantuan tunai itu dengan serius digarap itu ya ngga sepele dan impactnya bisa sangat besar. Apakah selama ini bantuan tidak dikerjakan dengan serius? Ya bukan tidak serius sama sekali, tapi harus diakui banyak sekali yang harus diperbaiki.

Yang pertama dan sangat mendasar adalah baseline data. Ini memang ruwet apalagi rakyatnya banyak yang ngeyel: double NIK, data kependudukan tidak di update, tidak membuat kitas saat tinggal di alamat yang berbeda dengan KTP dll. Belum lagi kalau pendataan bantuan akan memberi informasi palsu supaya bisa masuk kriteria warga yang mendapat bantuan juga. Banyak Bu rakyat modelan kayak gini. Ruwet memang Bu, tapi ya tetep harus terus diperbaiki.

Baca juga :  Dua Macam Pengajian di Muhammadiyah

Kriteria calon penerima bantuan diperjelas. Daftar calon penerima disampaikan. Ada jalur aduan jika ada yang sebenernya berhak tapi belum masuk nominasi. Ribet kan Bu? Memang ribet Bu. Lebih ribet mana sama ngerebus telur ayam? Kalau bantuan telur rebus ngga cuma di Jakarta tapi dari Sabang sampai Merauke, saya jamin Bu Mensos lebih milih beresin data dan seleksi calon penerima bantuan, karena sesungguhnya, mau bantuan dalam bentuk telur rebus ataupun uang, urusan data ini pun harus dibereskan. Karena kunci keberhasilan bantuan ada di sini. Kalau kita berhasil menemukan orang yang paling membutuhkan dari yang membutuhkan, maka penyalahgunaan bantuan bisa diminimalisir.

Yang kedua adalah memperbaiki komunikasi program bantuan kepada rakyat. Kejelasan kriteria, siapa saja yang akan mendapatkan bantuan, kapan bantuan akan dicairkan, bagaimana mekanisme pelaporan jika ada yang belum terdata, bagaimana pelaporan jika ada penyimpangan, perlindungan terhadap pelapor dan penanganan pelaporan (tahun lalu marak pemberitaan pelapor diintimidasi, semoga tidak terjadi lagi).

Yang ketiga, diukur dengan benar itu keberhasilan programnya. Tepat sasaran tidak? Impactnya seperti apa. Mungkin ini sudah dilakukan. Mungkin ya. Tapi ya harus disampaikan ke publik, harus gampang diakses. Harus tau pembelajarannya gimana dari program bantuan tunai sebelumnya. Jangan sampai udah berpengalaman bagi bantuan tunai berkali-kali tapi tetep saja kisruh dan kisruhnya cuma tentang itu-itu aja diulang ulang terus.

12,36 T tidak sedikit ya Bu, jadi sangat worth it untuk bekerja lebih keras lagi memperbaiki sistem penyaluran bantuan supaya bantuan bisa efektif dan berdampak nyata seperti yang diharapkan.

Kalau sekedar netizen nyinyir (seperti aku wkkwk) tidak perlu dirisaukan, karena netizen akan selalu nemu hal-hal yang layak untuk dinyinyirin πŸ˜…πŸ˜…πŸ˜…. Maap ya Pak Presiden dan Bu Mensos. I love you full pokoknya. Selamat bekerja yang pake dipikir dengan benar dulu, ngga cuma asal kerja, kerja, kerja 🀭.

*Korban Prank Banpres UMKM

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *