Opini

Aku Muhammadiyah dari Tulisan di Tembok

Hendra Hari Wahyudi

“Apa itu Muhammadiyah?”, itulah pertanyaanku dua lima tahunan yang lalu. Terjadi saat makan pudak (makanan khas Gresik) saat menghadiri Tabligh Akbar yang didatangi oleh Pak Prof. Din Syamsuddin, Ketua PP Muhammadiyah saat itu. Ntah setiap malam apa aku lupa harinya, Mak e (panggilanku untuk ibu) seminggu sekali mengajakku untuk mengikuti kegiatan NA (Nasyiatul ‘Aisyiyah). Tak peduli apa yang dilakukan emak-emak dan mbak-mbak muda waktu itu, aku hanya asyik main ayunan sambil menunggu berakhirnya kegiatan.

Masihku bertanya, apa itu Moehammadijah? Dimana banyak sekali papan nama, tulisan ditembok dinding sekolah tertulis namanya. Hingga akhirnya aku mikir, bahwa itu adalah sebuah aliran yang bentuknya adalah kegiatan keagamaan dari ibadah, maupun muamalah. Dari urusan tidak qunut saat Subuh, Tarawih 8 rakaat, hingga khotbah Jum’at tanpa tongkat. Iya, sebatas itu pemahamanku diusia yang masih anak-anak yang mencari tau sebuah pengertian. Akhirnya mengetahui jikalau arti dari nama itu adalah “pengikut Nabi Muhammad saw”, berarti semua orang Islam adalah Muhammadiyah?

Sekilas begitu, secara bahasa. Namun ternyata tidak. Pengamatanku pun beralih soal warna yang identik dengannya, biru. Warna biru hampir mendominasi seluruh sekolah ataupun bangunan Muhammadiyah lainnya. Tapi kok lagunya ada lirik “warna yang hijau berseri”? Kan hijau identik dengan ormas sebelah, sebut saja seperti Nahdlatul Ulama. Sampe-sampe ada bendera Persis (salah satu ormas Islam) ku kira bendera Muhammadiyah. Ternyata memang hijau itu Muhammadiyah, warna dasarnya. Meski memang sebagian besar banyak sekali AUM berwarna biru, namun bukan berarti warna Muhammadiyah berubah jadi biru atau berafiliasi dengan partai tertentu.

Baca juga :  Home Mentoring: Upaya Rekonstruksi Pembelajaran Kemuhammadiyahan

Semakin kumencari tau, maka semakin besar ketidaktahuanku. Marak di era zaman awal reformasi dulu, Pak Prof. Amien Rais yang merupakan tokoh dan mantan Ketua PP Muhammadiyah mendirikan partai dengan lambang matahari. Maka kupikir, itu adalah partainya Muhammadiyah, waktu itu. Ternyata tidak, meski banyak memang orang-orang Persyarikatan didalamnya, namun Muhammadiyah tidak berpolitik praktis. Toh juga banyak tokoh dan kader-kader diberbagai partai, bahasa kerennya berdiaspora dan memang hal itu adalah sebuah keniscayaan di era politik yang dinamis.

Belasan tahun, masuk lah aku di Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), bergelutku disana dengan berbagai pemikiran para kader jas kuning. Sampai berubah jadi IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah) pun masih sama. 10 tahun di ortom yang memiliki semboyan “Nuun, Walqolami wamaa yasthurun” ini, ya disinilah meneguhkan hati berawal dari lagu “Janji Kader” saat akhir Taruna Melati. Kini, melatinya sudah beralih di Pemuda Muhammadiyah, juga masuk di AUM. Eh dari Ber-IPM ini dapet istri, dulu masih barengan IPM-annya. Anggep aja IPMawan dapat IPMawati gitu deh, sekarang sama-sama di AUM, dianya di NA akunya di Pemuda.

Baca juga :  Belajar dari Bola : Kader Naturalisasi Kenapa Tidak?

Ikut kegiatan Persyarikatan, banyak membaca, lalu akhirnya berkaca dan berpikir lalu bergumam “ternyata Muhammadiyah itu bukan agama, aliran, apalagi partai”. Muhammadiyah adalah jalan penghambaan kepada Ilahi Robbi, yang digagas oleh KH. Ahmad Dahlan di Kauman, 8 Dzulhijjah 1330 H. Persyarikatan ini adalah tempat, sarana untuk mengamalkan apa yang dituliskan dalam Alqur’an dan apa yang telah Rasulullah ajarkan. Membawa Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, baik kepada umat Islam itu sendiri atau juga untuk seluruh umat manusia.

Kira-kira itu lah. Mengedepankan amaliah atas dasar keimanan, suka ta’awun kepada sesama manusia, membuat Islam berkemajuan seiring perkembangan zaman, mengajak semua untuk merawat bangsa. Maklum, Muhammadiyah sendiri punya andil besar bagi negara ini, baik sebelum dan sesudah kemerdekaan. Bahkan hingga sampai saat ini. Meski tidak punya hak memilih apalagi dipilih, saat Muktamar nanti dukung siapa saja yang masuk 13 formatur? Ya pastinya sama seperti Pak Prof Din Syamsuddin, milih yang “darah segar” yang tentunya mempunyai visi misi dan program-program yang segar pula.

Baca juga :  Muktamar dan Arah Baru Gerakan Dakwah

Kini akhirnya aku tau meski masih banyak ketidaktahuanku mengenai Muhammadiyah. Aku mengenalnya dari tulisan di tembok-tembok AUM, dan aku menyakini untuk log-in kedalamnya. Namun, kedua anak kami ini biar mereka mencari tau sendiri kemana ia akan log-in. Meski salah satu namanya, Dahlan, berharap ia memiliki pemikiran seperti Kyai Ahmad Dahlan. Kalau Dylan? Ya minimal dia pemberani dan berani memperjuangkan atas apa yang ia yakini seperti sosok Dilan. Yang pasti, besok semoga bisa hadir di Solo sekeluarga, minimal liat-liat suasana. Siapa tau ketemu para “darah segar”. Ygy!? Heuheu

CeritaJelangMuktamar #Muktamar48

Muktamar Muhammadiyah-Aisyiyah ke-48

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *