Syaiful Haq Miftahur Ridlo, S.H
Tinggal menunggu hitungan hari, perhelatan besar IMM Jawa Tengah akan dimulai, yaitu Musyawarah Daerah (Musyda) DPD IMM Jawa Tengah yang ke 20 di rumah kami, Kota Semarang. Tentu kader IMM Jawa Tengah dengan bergembira siap menyemarakkan perhelatan ini.
Namun, di samping itu tidak lupa dengan banyak pertanyaan yang muncul dan berkonotasi kecurigaan, apakah setelah dari Musyda DPD IMM Jateng ini dinamika yang dilahirkan mampu berhijrah menjadi lebih segar? Atau sekedar melanjutkan iklim yang dirasa sudah mapan, atau bahkan mengalami kemunduran?
Agaknya kita perlu suatu sosok keteladanan untuk menjadi kunci penyegaran dinamika DPD IMM Jawa Tengah pascamusyda.
Dalam rangka menyongsong muysda ini, mengingatkan saya pada peristiwa agung, yaitu hijrahnya Rasulullah SAW bersama para sahabatnya dari Mekkah menuju Yatsrib pada tahun ke 12 kenabian setelah turun tuntunan dan lampu hijau dari Allah melalui QS Al-Hajj ayat ke 39–40. Peristiwa inilah yang menjadi momentum awal kebangkitan Islam dan peradaban kemanusiaan yang berkeadaban.
Pergeseran dari masa kejahiliyahan yang cerminan suasananya penuh diskriminatif, feodal, sarat dengan kekerasan, patriarkis, dan lain sebagainya bergeser pada dinamika masyarakat yang lebih segar. Dinamika yang penuh dengan kasih sayang dan kebahagiaan.
Kota Madinah merupakan monumen sejarah dari peristiwa ini dan ia menjadi bukti bahwa aktualisasi konsep madani dalam Islam yang dilakukan secara utuh dan sistemik dapat membawa perubahan yang penuh dengan kerahmatan, kemajuan, dan berkeadaban bagi masyarakat. Ini bukan suatu kisah yang utopis, khayalan, mimpi, atau fantasi belaka.
Namun sangat disayangkan, prestasi besar nabi bersama para sahabatnya ini, sampai sekarang masih banyak yang memaknainya hanya sebatas ritual formalistik. Padahal Islam dihadirkan sebagai “Hudan lin Nas” (petunjuk bagi manusia) yang setiap ajarannya (termasuk keteladanan dari nabi) harus senantiasa transformatif yakni termanifestasikan pada perilaku umatnya, sehingga kemaslahatan pada syariat juga dapat dirasakan secara meluas dan merekonstruksi tatanan masyarakat sesuai idealitas Al-Quran dan Sunnah.
Gejala yang terihat adalah akibat terlena pada romantisme masa lalu yang memuji-mujinya secara berlebihan, hingga terjebak pada fenomena “magical power” yang terjadi pada Rasulullah.
Seperti peristiwa saat orang-orang kafir yang mengepung Rasul malah tertidur. Serta Suraqah yang berkali-kali terjatuh saat mengejar Rasul. Atau kejadian laba-laba yang menyusun sarangnya mulut Gua Tsur untuk “menutupi” Rasul dan Abu Bakar yang sedang bersembunyi di dalamnya dari pemburuan kafir Qurays.
Seluruh peristiwa ini bukan berarti boleh untuk dilupakan, bahkan harus terus menerus dikenang dan direfleksikan sebagai bukti perlindungan Allah yang selalu ada pada setiap upaya kerisalahan Rasul-Nya.
Namun jangan lupa juga bahwa mengenang seluruh kejadian yang terjadi selama hijrah Rasul ini bukan pula diartikan hanya sebatas mengenang dan mengingat, yang berujung pada kajian formalistik belaka. Melainkan kita harus cermat dalam memahami nilai-nilai yang menjadi pondasi keberhasilan peristiwa ini hingga dapat dirumuskan dan diaktualisasikan ulang pada kehidupan saat ini. Sehingga momentum sejarah yang berharga ini dapat menjadi rumusan wacana yang transformatif.
Dalam buku Deformalisasi Islam (Abdul Mukti:2004), nilai-nilai kehijrahan yang dijadikan pondasi oleh Rasul dalam merubah peradaban di antaranya adalah mengupayakan terwujudnya supremasi hukum, merawat spirit pluralisme dan toleransi, dan membangun iklim egalitarianisme.
Supremasi hukum mengalami pergeseran dari tradisi yang sebelumnya sarat dengan sistem feodalisme yang sistem ketaatannya sesuai kehendak subjektif kepala suku yang tidak beraturan, hingga sarat dengan sistem diskriminatif, patriarkisme dan barbarianisme. Bergeser kepada sistem yang bermadaniyyah (dana-yadinu) taat dan patuh terhadap sistem (din) yang tersistematis.
Kemudian spirit pluralisme dan toleransi yang ditunjukkan oleh nabi dengan menerima keberadaan golongan suku, sosial, ras, dan agama yang berbeda-beda. Namun pemberlakuannya terhadap mereka tetap sama tanpa membeda-bedakan.
Iklim egalitarianisme sungguh tercipta karena siapa pun menjadi setara tanpa sekat antara konglomerat dan rakyat jelata, yang tua dan muda, hingga derajat sosial laki-laki dan perempuan semua dipandang dan diberlakukan sama.
Manifestasi Nilai Kehijrahan dalam Musyda
Semua nilai kehijrahan ini kiranya sangat perlu ditransformasikan ulang untuk menjadi role model dan pondasi dasar dalam upaya menyegarkan kembali dinamika DPD IMM Jawa Tengah pasca Musyawarah Daerah DPD IMM Jateng yang ke 20.
Pertama, mewujudkan supremasi ilmu.
Dalam hal ini, yang dimaksudkan adalah misi yang mengupayakan terbentuknya arah keilmuan dan upaya standarisasi kualitas kader yang jelas, tersistematis, dan terukur. Sebab, terlihat di tubuh IMM ini khususnya di lingkup Jawa Tengah, gejala ketidakmerataan dan ketidakberaturan muncul di beberapa tempat.
Bukan lantas ini diartikan sebagai hal yang membatasi gerakan, namun justru setiap gerakan baik yang mencerminkan aspek religiusitas, intelektualitas, dan humanitas sebaiknya ada standar capaiannya.
Sehingga dalam jangka waktu singkat atau panjang, pada basis massa IMM ini akan tercerminkan padanya karakter pribadi atau basis kolektif yang khas karena multi keilmuannya.
Pun, dengan upaya supremasi ilmu ini juga dapat menjadi media efisiensi penyelesaian dari segala problematika yang muncul pada aspek organisasi, kaderisasi, ideologisasi, maupun gerakan.
Yang perlu dipahami dan diyakini terlebih dahulu adalah bahwa segala rumusan ideologis IMM ini bukanlah wacana pemikiran yang sekedar mendakik-dakik, utopis, mitos, atau “halu” semata. Seluruhnya dapat diupayakan untuk dibumikan. Andai pada praktiknya sulit dicapai, setidaknya ikhtiar yang dibangun telah dirancang dan dilakukan seoptimal mungkin.
Kedua, spirit pluralisme.
Artinya DPD IMM Jawa Tengah harus membangun kesadaran bahwa wilayah kepemimpinannya terdapat banyak pimpinan cabang yang memiliki beragam kultur pemikiran, basik, model gerakan, hingga model kepemimpinan yang berbeda-beda. Dari keragaman ini pula muncul aneka gejala penyakit yang berbeda-beda.
Maka DPD IMM Jawa Tengah dituntut harus mengerahkan daya kreativitasnya semaksimal mungkin bi amwalihim wa anfusihim demi merawat dan mengatasi segala penyakit yang muncul dan menghambat terbangunnya harmoni dan kekuatan di tubuh IMM Jawa Tengah.
Ketiga, prinsip egalitarianisme.
Dalam hal ini, DPD IMM Jawa Tengah harus senantiasa menghindari eksklusivisme dalam bersikap, dan senantiasa terbuka untuk bertukar pikiran dan gagasan, dengan bersilaturahim dengan siapa pun dalam rangka mencari role model kebaikan hingga mengkolaborasikannya.
Ber-fastabiqul khoirot tidaklah mungkin termanifestasi dengan baik bila pimpinan menunjukkan model eksklusivitasnya. Bahkan jangan sampai DPD IMM Jawa Tengah termapankan dengan cara seperti ini. Sebaliknya, inkusivitas dalam bersikap seharusnya sudah ditunjukkan dan mengakar pada karakter kepemimpinan.
Meminjam istilah yang digunakan oleh Untung Prasetyo Ilham (salah satu Caketum DPD IMM Jateng) hendaknya ke depan DPD IMM Jateng tidak pernah enggan untuk “ngunduh kawruh” ke tataran grassroot untuk menciptakan ruang-ruang gagasan dan melihat aneka realitas.
Lebih dari itu, hendaknya senantiasa mencari role model kebaikan dari lingkungan Muhammadiyah, pemerintahan, hingga OKP kepemudaan atau kemahasiswaan juga diperlukan untuk memanifestasikan fastabiqul khoirot dengan baik. Syukur dengan itu marwah IMM Jawa Tengah dapat tumbuh.
Wacana di atas merupakan langkah kolaboratif yang harus dijalankan secara harmonis oleh IMM Jawa Tengah ke depan untuk menciptakan IMM Jawa Tengah yang berkeadaban.
Semangat transformatif juga harus menjadi pendorong gerakan IMM Jawa Tengah yang lebih baik dalam menjawab tantangan zaman yang lebih kompleks. Sumber daya IMM Jawa Tengah saat ini harus bisa dioptimalkan demi mewujudkan IMM Jawa Tengah yang berkeadaban untuk kemaslahatan umat.
*Sekretaris Umum PC IMM Semarang 2020/2021 | Kepala Pengelola Ponpes Mahasiswa Muhammadiyah Kedungmundu | Staf Program dan Keuangan KL Lazismu RS Roemani)