Badawi
Akhlak adalah suatu kebiasaan berupa perkataan ataupun perbuatan yang dilakukan tanpa memerlukan pertimbangan terlebih dahulu. Kata akhlak bersifat netral, tidak cenderung kepada hal baik saja atau hal buruk saja. Jika terbiasa melakukan hal yang baik maka akhlak dari orang itu adalah baik, bila terbiasa melakukan hal yang buruk maka akhlak dari orang itu adalah buruk. Namun pada umumnya masyarakat menyebutkan kata akhlak bermakna hal yang baik saja. Dalam Islam dapat disebut sebagai akhlak itu baik atau buruk berdasarkan penjelasan dari Al-Qur’an dan Hadis, selain itu juga dapat berdasarkan etika (akal sehat) dan moral (adat istiadat). Hanya saja penggunaan etika dan moral sebagai tolak ukur bisa menyebabkan perselisihan pendapat tentang penilaian hal baik atau buruk, sebab sifat keduanya yang sangat spekulatif dan subjektif. Sedangkan kebenaran dari Al-Qur’an dan Hadis adalah pasti. Maka antara akhlak, etika dan moral, utamakan akhlak yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis sebagai tolak ukur dan pedoman kita dalam berbicara dan berbuat.
Lalu bagaimana menerapkannya dalam kehidupan berorganisasi?
Penerapan Akhlak Berorganisasi
Secara bahasa, organisasi adalah dua orang atau lebih yang saling bekerjasama untuk mewujudkan tujuan yang sama. Organisasi memang kumpulan dari orang-orang yang memiliki arah dan target yang sama, hanya saja itu tidak menghilangkan fakta bahwa organisasi terdiri dari individu yang beraneka ragam latar belakangnya. Dengan fakta di atas maka sudah seharusnya orang yang aktif di dunia organisasi harus menguasai “akhlak berorganisasi”, agar dapat terjalin hubungan erat lahir dan batin antar sesama anggota organisasi.
Beberapa bentuk akhlak berorganisasi, di antaranya adalah sebagai berikut :
Pertama, tidak merasa paling benar, jadikan orang lain di organisasi sebagai partner berdiskusi, karena bisa saja pendapat terbaik datang dari orang lain, bukan dari diri sendiri.
Kedua, terbuka dengan semua orang, salah satu masalah mendasar di organisasi adalah adanya kubu atau blok yang saling berlawanan. Kerap kali menjadikan organisasi berjalan lambat atau bahkan berhenti karena adanya kelompok-kelompok kecil, oleh karena itu maka mulailah terbuka dengan semua orang. Tidak hanya yang sepaham namun juga yang berbeda pemahaman.
Ketiga, mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi, ini menjadi penting karena tidak jarang sebagian pihak menjadikan organisasi sebagai jalan untuk mewujudkan ambisi pribadi saja.
Keempat, tidak orientasi one man show, organisasi bukanlah tentang satu orang saja, berikan kesempatan kepada semua orang sesuai porsi dan kemampuan.
Akhlak berorganisasi tidak saja membicarakan bagaimana memperlakukan orang lain (outsider), namun juga tentang bagaimana memperlakukan diri sendiri (insider). Kaitannya dengan akhlak berorganisasi insider, fokus pada dua hal yakni komitmen dan kompetensi.
Komitmen adalah keinginan untuk berperan aktif di organisasi. Merujuk pendapat Allen dan Mayer (1990) bahwa komitmen itu muncul karena tiga sebab, pertama adalah ingin terus berperan di dalam organisasi karena kesamaan visi dan misi, disebut dengan affective. Kedua adalah ingin terus berperan di dalam organisasi karena pertimbangan untung dan rugi ketika memilih untuk tetap tinggal atau pergi, disebut dengan continuance. Ketiga adalah ingin terus berperan di dalam organisasi karena adanya perasaan dan tanggungjawab yang mengikat, disebut dengan normative. Seperti halnya niat, motivasi bahkan iman yang bisa berubah-rubah dan naik turun, maka sebuah komitmen pun upayakan untuk terus dievaluasi dan diperbarui.
Selain menjadi seorang organisatoris yang dituntut untuk berperan aktif, juga dituntut untuk meningkatkan kompetensinya, baik softskill atau hardskill, terutama dalam bidang yang menjadi tanggungjawabnya di dalam organisasi, namun tidak berarti membatasi untuk bidang lainnya.