Oleh : Rasyid Ridha
Konon, Kebudayaan Makanan adalah kebudayaan yang paling primitif sekaligus paling progresif untuk urusan interaksi dan persebarannya. Sudah berabad-abad lamanya, pelabuhan hingga pasar di berbagai belahan dunia telah menjadi tempat pertukaran komoditi dagang, sekaligus pertukaran pengetahuan serta cita rasa makanan.
Artinya, ada aspek di dalam Kebudayaan Makanan yang memiliki sifat universal. Semua orang pernah mengalami lapar, dan ingin merasakan sensasi rasa nikmat di lidah. Dan itu semua dijawab lewat makanan olahan yang dikonsumsi oleh banyak manusia.
Setelah kehadiran Agama (misalnya Yahudi, dan tentu belakangan adalah Islam) beserta mesin politiknya, makanan tidak lagi menjadi entitas yang universal. Makanan mengalami proses ideologisasi, dengan adanya ajaran-ajaran Agama yang berbicara mengenai urusan jenis makanan. Larangan tertentu diberlakukan (misalnya 4 (empat) makanan haram, seperti Babi dst.), meskipun tidak dijelaskan secara detail juga mengenai alasan atau justifikasi mengapa larangan tersebut berlaku.
Sejak saat itu makanan tidak lagi hanya urusan kandungan zat dan cita rasa semata, melainkan juga urusan nilai dan ajaran. Ada makanan-makanan tertentu yang dilarang secara absolut, dan terhadap makanan tersebut berlaku semacam kutukan yang bernama “masuk ke dalam api Neraka”.
“Agamaisasi Makanan” semacam ini sebenarnya terjadi juga mungkin di Hindu dan Buddha, meskipun ada perbedaan yang signifikan dengan pola “Agamaisasi Makanan” di Islam dan Yahudi. Di Hindu dan Buddha, makanan dipandang sebagai kenikmatan sekaligus godaan bagi manusia. Larangan konsumsi terhadap makanan tertentu, lebih didasarkan pada pertimbangan potensi menghambat laku spiritual ketimbang sekadar perintah normatif hukum agama yang wajib diikuti semata. Dan larangan tersebut tidak ditulis sebagai sebuah larangan, melainkan sebagai pilihan yang diserahkan kepada individu masing-masing.
Selain itu di Hindu dan Buddha, urusan makanan dilihat sebagai urusan keseimbangan pola hidup. Di sisi yang lain dalam taraf tertentu, makanan juga mempengaruhi proses laku spiritual manusia. Makanan adalah godaan, dan pada godaanlah manusia kerap kalah dan bertekuk lutut -hingga akhirnya manusia dimakan oleh Sang Waktu- sehingga kerap gagal menapak di tingkatan kesempurnaan hidup. Bahkan terdapat sejumlah makanan tertentu yang dianggap menghalangi manusia untuk mendapatkan pencerahan, misalnya makanan jenis daging-dagingan, karena makanan jenis daging-dagingan cenderung ‘panas’, dan terdapat asumsi bahwa mengkonsumsi daging dari binatang hewan akan menambah sifat kebinatangan pada diri manusia.
Artinya, ketika berbincang mengenai Makanan (dalam hal ini jenis makanan hewani dan nabati), maka sejarah menunjukkan bahwa makanan memang memiliki partikularitas tertentu ketimbang universal. Namun bagaimana dengan bumbu masakan?
Berbeda dengan makanan, sejarah menunjukkan bahwa Bumbu Masakan (yang mayoritas didominasi terbuat dari unsur nabati) sebenarnya cenderung memiliki sifat universal. Ia bentuk eksperimen kebudayaan tingkat tinggi, menghasilkan cita rasa yang khas, sekaligus medium akselerator globalisasi antar negara dan bangsa. Penjajahan di belahan Negara Asia oleh Bangsa Eropa, termasuk Indonesia misalnya, salah satunya disebabkan oleh urusan bumbu masakan!
Dalam makanan, Bumbu Masakan adalah salah satu elemen penting yang menciptakan kenangan di benak pikiran manusia. Bila Bumbu Masakannya tidak enak, maka pikiran manusia akan mengingatnya sebagai sebuah kenangan yang buruk. Namun bila Bumbu Masakannya enak, maka manusia akan meromantisasi kenangan atas makanan dan bahkan kalau bisa akan terus dikejarnya sampai ke ujung dunia.
Ada banyak ribuan kitab dari belahan bumi bagian Utara, Selatan, Timur, dan Barat yang menuliskan mengenai bumbu masakan beserta resep membuat makanan tertentu. Kitab tersebut ditulis untuk tetap menjaga ingatan serta kenangan atas cita rasa masakan. Mereka, sang “Mpu”-nya kitab bumbu masakan dan resep makanan, layak diberi penghargaan tinggi, karena berusaha merawat ingatan dan kenangan atas cita rasa makanan selama berabad-abad.
Di antara penulis kitab-kitab tersebut, sebagian di antaranya adalah maniak makanan, dalam artian gemar melakukan eksperimen terhadap makanan, agar bisa mendapatkan penemuan cita rasa bumbu terbaru yang lebih nikmat, sedap, dan lezat. Dan eksperimen seperti ini, nampaknya akan terus berlangsung sampai spesies terakhir manusia musnah di muka Bumi ini.
Pada Bumbu jugalah melekat sifat yang partikular, karena Bumbu kerap diracik lewat bahan dari tumbuhan lokal tertentu. Namun ia juga memiliki sifat dan efek yang universal, dimana hubungan antar manusia dan bangsa dibangun lewat hal tersebut juga, dan banyak orang memiliki kesempatan mengakses dan mencicipinya.
Baik makanan maupun bumbunya, pada dasarnya merupakan anti-esensialis, dimana ada kecenderungan perubahan evolutif pada dirinya ketimbang stagnan begitu saja. Hari ini bahkan kita dihadapkan dengan banyaknya bumbu buatan pabrik, yang dihasilkan lewat racikan eksperimen kimiawi secara modern lewat laboratorium.
Artinya dapat dibayangkan jika Kebudayaan Makanan dan Bumbu, dalam kurun waktu sepanjang sejarah 300.000 tahun Homo Sapiens, telah melewati proses yang begitu panjang, beserta suka cita dan duka laranya. Dan di tiap zamannya, pasti akan ada saja sejumlah orang atau kelompok yang cupet, yang dengan ke-melamun-annya dan ke-gabut-annya, berupaya menghambat proses evolusi kebudayaan makanan.
Dan hari ini, nampaknya sekelompok orang dengan identitas Agama (tertentu) kian ekspansif untuk terus menancapkan kekuasaan politisnya, bahkan sampai ke dalam urusan monopoli atas bumbu beserta cita rasanya. Tidak cukup mengurus serta memilah jenis-jenis bahan makanan, ternyata bumbu pun turut dicaplokinya. Akhirnya, bumbu masakan seolah telah ditahbiskan dan memiliki identitas “Agama”.
Untuk hal ini, kita dapat melihatnya dengan jelas dalam sebuah hikayat di abad 21: Kisah mengenai larangan membuat olahan masakan Daging Babi dengan menggunakan bumbu rendang. []